Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tempat Umum yang Tidak Ramah bagi Penyandang Disabilitas

26 Juli 2022   07:58 Diperbarui: 27 Juli 2022   03:45 1506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak samping tangga pasar gunung batu (dokumen pribadi)

Orang dengan keterbatasan fisik  kesusahan memasuki ruang publik ini. Sebuah tempat umum komersial yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas.

Sabtu kemarin bermaksud ke daerah Gunung Batu. Berjalan kaki melalui jalan alternatif dan tanjakan curam. Bukan lewat pinggir jalan raya.

Cuaca mendukung. Sinar matahari terhalang sedikit mendung, tapi tidak menurunkan hujan. Kulit tidak menjadi item.

Menyeberangi jalan dr Sumeru, lalu menapaki jembatan untuk pejalan kaki. Melintas di atas saluran irigasi.

Di sebelah kiri terdapat bangunan milik Kementerian Kesehatan. Eks Sekolah Tinggi Ilmu Gizi, tempat ibu saya (alm) menimba ilmu. Pada bagian kanan terdapat bangunan dan lapangan golf yang juga milik Kemenkes. Setelah itu petualangan sesungguhnya dimulai.

Tangga curam menuju lantai dua (dokumen pribadi) 
Tangga curam menuju lantai dua (dokumen pribadi) 

Rumah-Rumah Mini

Masuk ke sebuah jalan kecil di mana pada kiri kanannya terdapat bangunan berpetak-petak. Dari sebagian hunian yang pintunya terbuka, dapat diperkirakan lebar tapak. Sekitar 2 meter. 

Panjangnya tidak jelas terlihat, mungkin 3-5 meter. Atau 10 meter. Saya tidak bisa memastikannya.

Rumah-rumah mini dan becak parkir di mulut gang (dokumen pribadi)
Rumah-rumah mini dan becak parkir di mulut gang (dokumen pribadi)

Beberapa dibangun bertingkat. Sebagian menjadi rumah-rumah sewa, terlihat dari kertas bertuliskan: kontrakan disewakan. 

Sepertinya rumah-rumah mini itu dihuni oleh para pekerja informal, seperti tukang becak, penjual cilok, pedagang rujak bebek ('e' pepet), dan entah apa lagi.

Ternyata banyak juga orang yang survive di tempat sempit semacam itu, bersama keluarga.

Bagian
Bagian "pusat" jalan kecil, di kanan-kiri terdapat rumah-rumah mini (dokumen pribadi)

Jembatan Indiana Jones

Melewati daerah rumah-rumah mini, jalan lebih lebar. Terdapat simpangan-simpangan yang menghubungkannya ke jalan lain.

Jalan lebar sedikit menurun. Di ujung bertemu jembatan kerangka besi dengan dasar papan kayu disusun melintang untuk pijakan. Lebarnya satu meteran lebih sedikit.

Nyaris mirip jembatan yang dilintasi Indiana Jones dalam film the Temple of Doom, tapi tapaknya lebih lebar dengan gantungan kawat baja, bukan tali.

Melewati jembatan kayu adalah melihat derasnya Sungai Cisadane yang berbatu-batu. Gamang bila melihat ke bawah. Seolah sela-sela kayu membuka. Sungai mangap siap menelan.

Agak goyang-goyang, apalagi bila sepeda motor turut melintas. Kayu-kayu berderak-derak. Saya tidak mampu membayangkan, jika sebagian kayu-kayu itu runtuh. Apakah bisa bergelantungan pada seutas tali bak Indiana Jones?

Tanjakan Curam

Rasanya lega telah meninggalkan suara air mengalir deras. Menuju jalan menaik yang kian menanjak. Mau istirahat di warung pecel, belum buka. Maka saya menetapkan hati mengalahkan jalan tanjakan, mungkin lebih dari 30 derajat kemiringan. Bahkan nyaris 45 derajat.

Di tengah perjalanan napas terasa mau putus, namun semangat tidak boleh pupus. Ada tongkat yang membantu perjalanan agar terus.

Di pucuk tanjakan curam barulah saya berhenti. Duduk beristirahat di sebuah poskamling terbuat dari kayu.

Pasar Gunung Batu

Ujung jalan ternyata berada persis di samping Pasar Gunung Batu. Sebuah tempat berjual-beli yang dikelola oleh Perusahaan Daerah milik Pemerintah Kota Bogor.

Ukuran tapaknya relatif kecil, kurang dari 2.500m2, dibanding Pasar Bogor yang luasnya 3 kali lipat. Apalagi disandingkan dengan Pasar Anyar (14.945m2 yang terbagi dalam 5 blok).

Geliat pasar tradisional senantiasa menarik perhatian saya. Banyak hal bisa diamati. Banyak hal bisa dibeli dengan cara tawar-menawar harga.

Tidak terlalu ramai sebagaimana Pasar Anyar atau Pasar Bogor. Sirkulasi udaranya pun baik, karena tidak padat pengunjung.

Bangunan dua lantai itu meletakkan komoditas kering di lantai dasar. Siapa saja mudah mencapainya. Sedangkan pasar basah (daging, ikan, sayur-mayur, dan sebagainya) berada di lantai dua. Jalan masuk ke atas menyulitkan penyandang disabilitas.

Tampak samping tangga pasar gunung batu (dokumen pribadi)
Tampak samping tangga pasar gunung batu (dokumen pribadi)

Tangga curam menuju lantai dua (dokumen pribadi) 
Tangga curam menuju lantai dua (dokumen pribadi) 

Orang dengan keterbatasan fisik akan kesusahan memasuki ruang publik ini. Sebuah tempat umum komersial yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas, mengingat:

  1. Tangga-tangga menuju lantai atas curam. Saya bisa menaikinya, tapi butuh effort lumayan dan harus berpegangan pada railing.
  2. Tidak ada ramp, atau bidang miring fitur pengganti tangga dengan lebar 0,95 hingga 1,2 meter.
  3. Tidak tampak sarana parkir khusus berukuran 3,7 4,5 meter persegi dalam jarak paling jauh 60 meter dari bangunan.
  4. Tiada toilet khusus bagi penyandang disabilitas.

Artinya, pasar Gunung Batu --mungkin juga pasar tradisional lainnya di Kota Bogor---tidak menyediakan kemudahan bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas dan lansia. 

Aksesibilitas yang seyogianya dibuat guna mewujudkan kesamaan kesempatan demi mencapai ruang publik.

Pasar tradisional di Gunung Batu, Kota Bogor merupakan tempat umum yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas. Barangkali pihak-pihak berkepentingan bisa memberikan perhatian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun