Dulunya saya beserta keluarga bukanlah “penggila” obat. Dalam arti, sedikit sakit kepala, makan penghilang rasa pusing. Agak merasa tidak enak badan, minum suplemen agar kembali fit. Tidak seperti itu.
Kotak P3K di rumah berisi peralatan untuk pertolongan pertama. Terdiri dari peranti dan obat-obatan untuk penanganan luka, seperti: kapas kesehatan, kasa kompres, plester, perekat pita untuk menempelkan kasa, perban, antiseptik, alkohol, gunting, peniti, cotton bud.
Di meja tersedia vitamin C, jamu masuk angin saset, dan minyak gosok.
Sempat sih menyimpan obat untuk demam dan sakit kepala, tetapi keburu terlewat masa berlakunya. Dibuang dah.
Saya tidak pernah menyimpan suplemen, di luar jamu (kunyit asam) yang sebelum diminum disimpan dulu di kulkas, atau jamu segar dari penjual jamu gendong.
Asupan nutrisi tambahan umumnya didapat dari buah. Sakit kepala atau demam ringan biasanya minum jamu tolak angin, lalu sebagian badan dibalur dengan minyak gosok, minum air putih, cukup makan (enak tidak enak harus dianggap enak), dan tidur menggunakan selimut.
Bila berkeringat atau merasa kepanasan, tanda awal demam mulai reda. Apabila penyakit berlanjut, segera berangkat ke dokter. Sesederhana itu.
Belakangan, saya terpaksa harus terus menerus mengonsumsi obat, vitamin, dan suplemen.
Paling tidak ada tiga jenis obat yang mesti diminum: penurun tekanan darah, anti kolesterol, dan pengencer darah. Selebihnya bukan keharusan, seperti vitamin-vitamin dan suplemen penguatan kemampuan kognitif pada lansia.
Sekarang, dan entah sampai kapan, saya mengonsumsi enam jenis obat, vitamin, dan suplemen itu setiap hari. Seorang kawan yang usil berkata, seperti apotek berjalan!