Tadi malam. Bakda Isya. Seorang sahabat lama menelepon. Pria yang jauh lebih muda dari saya itu mengucapkan Selamat Idul Fitri dan memohon maaf lahir batin. Juga menyatakan tidak enak karena lama tidak berkunjung ke rumah.
Saya pun membalas ucapan silaturahmi itu dan meyakinkannya, lain waktu bisa diatur pertemuan.
Setelah berbasa-basi, sampailah kepada perbincangan mengenai dunia pekerjaan yang sedang ditekuni. Saat ini ia bekerja sebagai staf pemasaran perusahaan daerah pengelola pasar.
Sebelumnya ia bekerja sebagai konsultan pengawas, di mana bidang pekerjaannya berimpitan dengan pekerjaan pemborongan (bidang konstruksi) yang pernah saya geluti. Sama-sama berhubungan dengan proyek milik Pemda.
Selanjutnya, pria masih berputra satu itu mengeluhkan tentang kesibukan dalam pekerjaan. Karena koleganya mengetahui kemampuannya dalam perancangan bangunan, ia kerap "diminta tolong" untuk turut menangani urusan teknis pasar-pasar. Termasuk ihwal redesain layout atau tampilan pasar.
Dalam beberapa kesempatan, berkaitan dengan ihwal teknis di atas, ia juga diminta mendampingi dewan direksi untuk presentasi ke pejabat kota. Terkadang ikut dalam acara dengar pendapat di hadapan sidang anggota DPRD.
Padahal sudah ada bagian khusus yang mestinya lebih kompeten menangani soal teknis dan perancangan itu.
Singkat cerita, ia bingung menghadapi "penugasan-penugasan" itu, yang notabene bukan bidang sesuai job description. Menjadi beban di luar fokus pekerjaan yang kemudian seolah menjadi tanggung jawabnya.
Untuk merampungkan paperwork bertumpuk-tumpuk itu, beberapa kali ia membawa tugas ekstra pulang ke rumah.
Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan pengalaman saya sebelum terserang penyakit kronis. Dulu saya terlalu menuruti tuntutan tugas ekstra, dengan tiadanya keuntungan tambahan apa-apa.Â