Melangitnya harga minyak goreng menggoda sementara pihak untuk mencari keuntungan sesaat. Dengan mengoplos atau membuat minyak goreng palsu.
Belum lama terungkap, pengusaha kerupuk di Kudus tertipu, membeli minyak goreng yang ternyata terbuat dari bahan air dicampur zat pewarna kuning (sumber).
***
Tidak lama setelah HET minyak goreng dicabut, harganya melambung. Sementara pihak memanfaatkan tingginya harga, mencari keuntungan sesaat dengan memalsukan komoditas yang sudah dianggap kebutuhan pokok itu.
Modusnya bukan sekadar mencampurkan air dengan pewarna, tapi mengoplos minyak goreng bekas pakai dengan yang baru. Bahkan menggunakan bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan para penggunanya.
Teringat sewaktu masih mengelola kafe di sudut Jakarta Selatan. Biasanya membeli minyak goreng bermerek dalam kemasan jeriken isi 18 atau 20 liter (saya lupa persisnya).
Penggunaannya untuk menumis dan menggoreng (deep frying). Untuk menggoreng, umumnya digunakan dua kali. Setelah itu dianggap kurang baik karena digunakan dalam suhu tinggi. Dapat mempengaruhi aroma dan cita rasa masakan.
Nilai ekonomisnya sudah tidak ada. Nol di pembukuan. Mestinya dibuang di tempat khusus, tetapi orang-orang kitchen menjualnya kepada penampung. Entah dijual berapa.
Minyak goreng bekas itu secara fisik masih encer, belum menjadi jelantah. Hanya, warnanya sudah menghitam akibat oksidasi. Baunya berbeda dengan minyak baru, tercium bekas gorengan bahan pangan.
Pihak penampung akan menyaring sedemikian rupa agar dapat digunakan lagi. Atau mengoplosnya dengan minyak baru.