Tanpa pikir panjang, saya memenuhi bujukan adik ipar. Menanamkan sejumlah uang, berharap untung di perusahaan tempatnya bekerja. Hasilnya? Ah, lupakan!
Wanita cantik itu bekerja pada sebuah kantor mentereng di kawasan elite segitiga emas Jakarta Selatan. Perusahaan bergerak di bidang perdagangan mata uang suatu negara terhadap valuta negara lain.
Aktivitas kantor berlangsung selama 24 jam sehari, menyesuaikan dengan waktu di berbagai negara. Transaksinya melibatkan sejumlah pasar uang terkemuka dunia.
Menurut informasi darinya, keuntungan diperoleh dari selisih nilai uang asing pada saat penjualan dikurangi harga pembelian. Bahasa kerennya memperoleh gain. Jika permintaan tinggi dan harga naik, pada posisi tertentu ia akan menjualnya. Itulah keuntungan yang diperoleh.
Terlalu banyak keterangan mengenai tata cara menghasilkan keuntungan selangit. Sulit bagi saya untuk memahami dengan cepat.
Pikiran sederhana saya adalah berbisnis secara konvensional: memperdagangkan barang dan jasa. Mengambil barang di satu tempat, menjual di tempat lain dengan selisih wajar. Atau memberi nilai tambah terhadap barang lalu menjualnya dengan harga lebih tinggi.
Sebagai --bahasa kerennya: broker---sang ipar meyakinkan saya, bahwa keuntungan didapat akan jauh melampaui perdagangan cara biasa. Ia dan koleganya senantiasa memantau pergerakan satu mata uang terhadap mata uang lain, demi meraih laba selangit.
Kemudian saya menginvestasikan sejumlah Rp 15 juta dengan mencairkan deposito, kendati terkena penalty overdue. Pada tahun 1995 nilai tersebut sangat besar bagi saya.
Pada bulan depannya, satu seperempat juta rupiah masuk ke rekening saya. Lebih tinggi daripada bunga deposito. Berikutnya, keuntungan didapat kian besar.
Tiga bulan setelah waktu investasi, tidak ada lagi penambahan saldo laba ke rekening. Alasan dikemukakan, perdagangan valuta asing sedang mengalami loss.