Terlalu asin lah. Terlalu manis lah. Terlalu pedas lah. Terlalu banyak micin lah. Terlalu banyak santan lah. Dan terlalu terlalu lainnya.
Bahkan makanan siap saji gerai waralaba asing pun dianggap berbeda dengan produk serupa di negara asalnya.
Selera aneh. Seaneh tuturan yang serba keminggris. Perubahan-perubahan itu muncul sepulangnya dari Amerika. Kini ia lebih pintar. Lebih jago bahasa Inggris dengan meminggirkan bahasa ibunya sendiri.
Sejak menjajal aneka jajanan populer yang kemudian tidak sesuai lagi dengan lidahnya, maka ia memasak sendiri.
"Begini makanan sehat. Garam, gula, bumbu ditabur secara terukur. Which is sesuai dengan standar kesehatan ditetapkan oleh WHO."
Aku menelan buncis, menyesap kuah hambar dengan segala keengganan.
"You know WHO? That's a lembaga kesehatan tingkat world."
Jangan harap bisa menemukan bahkan satu butir micin di rumah. Itu adalah musuh abadinya.
"Micin? It's not healthy, my dear."
Sejak saat itu aku sarapan dan makan pagi seperlunya. Asalkan tidak lapar saja. Makan di rumah merupakan perjumpaan dengan rasa hambar menyiksa.
Kenikmatan rasa kuperoleh dari warteg di sekitar kantor. Atau kalau mau merogoh kantong lebih dalam, makan Chinese food dan di tempat-tempat makan populer. Selera umum!