Dulu berada di pinggiran. Kini di tengah kota, akibat terjadinya pergeseran batas-batas administratif.Â
Dulu jalan berbatu. Kini permukaannya berlapis hot mix. Itu satu rute di kota Bogor yang menjadi penghubung dari atau ke pusat-pusat permukiman baru.
Lebar jalan relatif tidak berubah. Sekitar 6-6,5 meter. Namun lalulintas jauh lebih padat dibanding dulu yang hanya terlihat pedati, delman, dan pejalan kaki.
Sekarang pun masih tampak pejalan kaki, tapi tidak tersedia jalur nyaman dan aman bagi pedestarian. Ia harus berkompetisi dengan kendaraan bermotor pengguna jalan.
Belakangan, paling tidak seminggu dua kali saya melalui jalur tersebut. Biasanya pagi-pagi sekali. Kalau agak kesiangan, akan bersaing dengan pengguna jalan lainnya. Angkot, mobil, motor, sepeda, gerobak dorong, dan sesekali delman hias untuk wisatawan.
Tidak ada trotoar. Saya berjalan di bahu jalan berupa tanah berukuran 30-40 sentimeter. Kadang disemen oleh pemilik ruko, kendati melandai.
Lumayan daripada kesenggol motor ngebut, risikonya jatuh. Kalau perlu melipir ke pinggir, mepet pagar atau berhenti sama sekali. Dokter mewanti-wanti agar saya tidak jatuh.
Untuk ukuran kemampuan aksesibilitas saat ini, infrastruktur itu sangat padat. Ada angkot berhenti, menyebabkan antrean kendaraan. Tidak usah itu, gerobak melintas mengakibatkan pengguna jalan mengular.
Jadi cukup sulit bagi saya untuk berjalan kaki dengan aman dan nyaman. Jangan tanya tentang fasilitas penyeberangan jalan, lha wong zebra cross saja tidak ada.