Konon, ada mitos: kalau tempat makan diperluas atau dirombak agar tampak lebih mentereng, maka selanjutnya ia akan sepi pengunjung.Â
Benarkah demikian?
Teman-teman di bisnis kuliner memercayai hal itu. Diperkuat oleh kesaksian saya sendiri atas beberapa peristiwa.
Tempat makan dirombak total atau diperluas, namun setelah peresmiannya, jumlah pengunjungnya anjlok. Bukan akibat efek visual. Tempat lebih lebar, tamu kelihatan sedikit. Dalam perjalanan berikutnya, rumah makan tersebut cenderung sepi. Lama-lama tutup.
Saya ceritakan dua rumah makan saja. Saya tidak berhasil mengingat kejadian lainnya.
***
Sebuah warung terletak di tikungan menjelang masuk jalan tol demikian ramai pengunjung.
Penampilannya sangat sederhana. Konstruksi kayu dengan sebagian dinding dari anyaman bambu dan lantai plur semen. Interior biasa saja. Kursi kayu panjang mengelilingi meja dengan mangkuk-mangkuk besar berisi aneka olahan. Ke dalam lagi terdapat panggung lesehan beralaskan tikar pandan.
Seperti kebanyakan warung Sunda, warung tersebut menyediakan mojang, eh, masakan khas Priangan. Dari lalap daun mentah, sayur asem, sampai aneka tumisan. Ikan dan ayam goreng atau bakar. Tahu, tempe, ikan asin Pepes-pepesan. Semur jengkol. Petai digantung. Wis, pokoknya banyak pilihan.
Makannya bebas. Boleh di panggung, dengan konsekuensi duduk dengan cara bersila. Atau duduk di kursi panjang dengan satu kaki naik ke kursi. Makan dengan tangan pun terasa nikmat.