Pertama kali mencicipi penganan berbentuk bulat, tipis, dan gurih berharga mahal, adalah pada sebuah gerai waralaba di Jakarta pelopor penjualan pizza gaya Amerika pada tahun 1984. Berkat perayaan ulang tahun ke-20 seorang sahabat, yang juga finalis sampul Majalah Femina.
Saat itu, bagi saya mencicipi olahan panggang mirip roti tipis adalah pengalaman luar biasa.
Betapa tidak?
Selain pengalaman perdana, peluang untuk membelinya dengan uang sendiri amatlah muskil. Kiriman bulanan cukup untuk membayar sewa kamar kos, ongkos harian, dan makan dua kali sehari di warung Sekeloa)*.
Siapa sangka pada kisaran dua dekade berikutnya, saya terjun di bisnis kuliner yang salah satunya menyediakan hidangan Italian Pizza. Ada sedikit perbedaan dengan pizza pertama saya makan, American Pizza.
Penganan berbentuk lingkaran versi Amerika cenderung tebal. Lapisan (dough) tampak seperti roti. Mengenyangkan dengan taburan permukaan (topping) bervariasi. Di lidah terasa gurih sedikit agak manis dan kering tidak berminyak.
Sedangkan roti bulat gaya Itali lebih tipis, dengan campuran olive oil pada dough lebih kuat. Topping cenderung tidak banyak macamnya, berupa saus atau irisan tomat, oregano, bawang cincang, dan daging. Lebih kriuk. Lebih terasa asam. Dan lebih ringan.
Untuk mengetahui perbedaannya lebih jauh, dapat disimak di sini.
Chef restoran tempat saya bekerja mengadopsi gaya Itali dalam pembuatan pizza. Memang tempat makan dan bersantai itu menawarkan berbagai menu gaya: Italian, Western, Oriental, dan Indonesian Food.
Puteri saya waktu masih kanak-kanak mampu menghabiskan dua loyang pizza hangat. Dough saja tanpa topping apa-apa. Tidak setebal American Pizza. Tidak bikin cepat kenyang dan rasanya enak. Penganan diolah sendiri itu kaya akan minyak zaitun.
Khusus untuk pizza, topping disesuaikan dengan selera masyarakat yang terlanjur terhasut oleh rasa American Pizza. Bahkan ada satu topping yang menggunakan pisang. Banana Pizza merupakan menu favorit dengan jumlah penjualan satuan tertinggi dalam kategori Food.