Ada cemas ketika langit biru berubah kelabu. Arak-arakan awan putih terhempas. Bergemuruh; kilatan listrik di udara beruntun-runtun, membawa getar-getar.
Titik-titik air berjatuhan. Rintik membasuh bunga-bunga. Daun-daun maple melambai-lambai; sebagian darinya nelangsa, jatuh terlentang di atas tanah tanpa daya.
Sayap-sayap mengepak, melantingkan burung-burung menembus awan, menukik, lalu hinggap pada dahan terlindung dari curahan. Bersuka-cita dalam kicau menahan gigil.
Senja, gerimis, hijauan dedaunan, tanah basah, suara rintik di balik nyanyi burung, dan udara dingin mengorkestrasi pertunjukan alam nan indah tiada terkira.
Berbaring tanpa daya, Dimas menyaksikan panorama indah dari balik kaca jendela. Matanya memandang figur memesona yang selama ini dirindukan, juga mencetuskan rasa sesal tak berkesudahan.
Berpayung, sesosok wanita anggun --elok melampaui sekalian keindahan alam---melangkah masuk ke rumah putih besar berpintu-pintu. Di samping wanita cantik, seorang gadis cilik berjalan menenteng sekeranjang buah.
"Engkau masih ingat kesukaanku," Dimas beringsut bangun.
Wanita anggun bersenyum indah menghamparkan tubuhnya di satu-satunya kursi; gadis cilik melompat ke atas ranjang, bergelayut manja. Sebuah kecupan pada ubun-ubun membuatnya tertawa riang.
"Besar ya? Mestinya ia sudah kelas empat."