Burung-burung merpati mengepakkan sayap, beterbangan menghindari ayunan lengan melempar biji-bijian dari kantong kertas berwarna cokelat. Sejenak. Kembali turun ke pelataran, paruh-paruh mungil mematuk butir-butir jagung.
Pria menghela napas. Guratan-guratan pada dinding dada membuatnya sesak. Tidak pernah sepanjang hidupnya ia merasakan rasa sakit sesakit-sakitnya seperti sekarang. Tiada pernah.
Betapa, dulu tangan mungil membawa kantong cokelat berisi jagung pipilan yang mereka beli di pasar anyar senantiasa bersama-sama. Dua sejoli bergandengan tangan bercanda menyusuri trotoar.
Beriringan dengan puspa hati memadu asmara tanpa memedulikan raungan mesin-mesin saling mencuri kesempatan. Bentakan nyaring klakson mobil melawan gerung amarah sepeda motor. Dendam, kebencian, ego bercampur-baur menerbangkan debu dalam deru.
Memang, dunia keindahan hanya milik mereka berdua. Hati berbunga-bunga tertawa riang, mengabaikan pertengkaran jalanan di tengah kota berhias dinding-dinding kaku menjulang tinggi, menuju sebuah keelokan.
Taman yang menyimpan teduh pepohonan, memayungi bunga-bunga warna-warni. Harum segar menghambur seiring semilir angin.
Di sana, setiap waktu, ratusan burung merpati berkumpul, mematuk-matuk biji-bijian yang dilemparkan oleh pengunjung. Sesekali burung-burung terbang rendah, mengepakkan sayap menunggu lemparan.
Pemandangan menyenangkan sekaligus menyejukkan dalam suasana teduh, melupakan kebisingan dan keruwetan hidup.
Pada beberapa bagiannya terletak bangku-bangku. Di atasnya duduk keluarga-keluarga menikmati kedamaian. Sebagian lagi ditempati oleh pasangan-pasangan muda menjalin janji.
Tiada perebutan pun amarah. Hanya ada cinta dan hangatnya suka cita.
Dua sejoli menuju tempat favorit, sebuah bangku taman cenderung tersendiri dari tempat duduk lain.