Ketika tidak tersedia menu sarapan di rumah, menemukan makanan dalam radius satu kilometer amatlah mudah.
Ada empat atau lima pedagang bubur ayam. Beberapa penjual nasi uduk, bihun/mi goreng, lontong sayur, dan gorengan. Namun penjual terdekat, warung Ema, penyedia aneka pilihan menu sarapan pada hari itu tutup.
Pemilik warung sibuk, menjelang peringatan seratus hari almarhumah putri kandungnya.
Baca juga: Sudah Sarapan di Rumah, tapi Jajan di Warung
Saya mencari alternatif makanan lain. Lagi pula, bubur ayam, nasi uduk dan kawan-kawan sudah sering disantap.
Tapi apa ya?
Jalan kaki menuju SPBU, saya melihat sebuah sepeda motor dimuati berbagai kotak berisi makanan. Spanduk dan poster di sekelilingnya berkata:
Nasi Kebuli Daging Sapi, Abu Malik
Yeah! Menu ini patut dicoba. Jarang-jarang nih.
Kalaupun ada, cukup jauh letaknya. Di sebuah perkampungan warga keturunan Timur Tengah, terletak di Kawasan Empang, Bogor.
Menurut penuturan penjualnya, Pak Malik, kedai buka dari jam setengah enam pagi.
“Tutup sak habisnya. Biasanya jam sembilan. Paling telat, jam sepuluh pagi.”
Warung yang seharusnya berjalan, mengambil tempat di lokasi menjelang pintu masuk SPBU.
“Para pelanggan taunya saya mangkal di sini.”
Ditambah payung besar warna-warni, dari jauh ia tampak menarik perhatian.
Di atas sadel bertengger gerobak kayu, di mana terdapat termos nasi, wadah-wadah berisi: telur dadar, balado telur, rolade daging, sayap/paha bawah ayam goreng, sate bakso pedas, kismis, acar, bawang goreng, sambal. Itu yang kelihatan oleh mata saya.
Masih pagi. Pelanggan antre untuk membungkus hidangan khas Timur Tengah itu. Saya sendiri membawa tas berisi dua kotak plastik. Mengurangi penggunaan kantong plastik dan Styrofoam.
Satu kotak diisi nasi berempah ditambah telur dadar. Satunya lagi dengan sayap ayam goreng.
Pak Malik membuka rahasia pembuatannya.
Nasi ditanak bersama kaldu daging sapi (versi lain memakai kambing), santan, dan sedikit susu full cream (pengganti susu kambing). Daging sapi diiris tipis-tipis, digoreng kering, lalu dicampurkan ke dalam nasi setengah matang. Sambil dibubuhkan margarin (pengganti minyak samin).
Mumpung penjual senang bercerita, saya mengorek lebih jauh tentang bumbu-bumbunya.
Nasi digunakan merupakan beras lokal jenis panjang (long grain), atau biasa dikenal sebagai beras pera.
Bumbu halus ditumis, terdiri dari: bawang putih-merah, jahe, ketumbar, merica. Lalu dicampur dengan beras. Kemudian ditambahkan kayu manis, cengkeh, kapulaga, pala, serai geprek. Masukkan margarin.
Bahan tambahan berupa kismis, bawang goreng, acar (sebagian orang menggunakan asinan), kerupuk, dan sambal.
Makanya, aroma rempah cukup kuat tercium dari kepulan asap nasi kebuli masih hangat. Tapi sama sekali tidak terhirup bau khas masakan kambing. Ya iyalah, dari daging sapi!
Karena ia tidak menggunakan bahan susu dan daging kambing, juga minyak samin, maka hidangan warga keturunan Arab itu dijual dengan harga terjangkau.
Sepuluh ribu rupiah seporsi, untuk nasi kebuli saja. Telur dadar dihargai Rp2 ribu. Balado telur, Rp3 ribu. Sate bakso pedas, Rp2 ribu per tusuk. Rolade, saya lupa nanya harganya. Hehehehe.
Rasanya?
Aroma rempah membuat perut bergejolak, ingin segera menyantapnya. Tidak tampak berminyak, teksturnya mirip nasi goreng. Nasi berwarna kecokelatan itu lepas-lepas. Ngeprul!
Suapan pertama, lidah mencecap hangatnya campuran bumbu-bumbu khas Timur Tengah. Gurihnya menyebabkan mulut tidak berhenti mengunyah. Mulut rajin bergerak, mata merem melek meresapi kenikmatan dunia. Amboi!
Saya baru tersadar manakala tinggal butir-butir terakhir. Yah, habis dah nasi berempah itu. Sepertinya, besok harus beli lagi.
Ternyata enak lho, nasi kebuli untuk menu santapan pagi alias sarapan.
Mari sarapan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H