Tersua perbedaan cara makan soto, dengan cara nasi di-satu-kan dalam mangkuk kuah atau dipisah.
Sebelumnya, saya terbiasa menikmati soto campur nasi. Kepindahan ke Bogor membuat kebiasaan itu berubah. Soto dalam satu mangkuk, nasi dalam piring lain. Begitu yang disajikan oleh Mamang Soto.
Hasilnya? Ya sama-sama kenyang, walaupun yang terpisah, nasinya cenderung lebih banyak.
Permasalahan bersemi pada awal kepindahan, yaitu keengganan untuk menyantap soto yang populer di Bogor, yaitu Soto Santan. Pada semangkuk soto berwarna kekuningan itu tercermin sayur lodeh. Lebih parah lagi: kolak!
Di depan sekolah, dijumpai pedagang kaki lima menjual soto santan, dengan aneka topping (jeroan, daging, ayam, telur dadar, tempe-tahu goreng). Harganya pun bersahabat. Tidak mengherankan, banyak siswa ngandok untuk sarapan atau makan pada waktu istirahat. Sepertinya nikmat.
Saya mulai coba-coba. Sekali, dua kali, dan akhirnya keterusan. Saya juga kemudian terbiasa makan soto dengan nasi terpisah.
Sayangnya, kini soto langganan pada empat puluh tahun lalu itu sudah tidak ada.
Meski demikian, tetap banyak ditemukan penjual soto santan. Dari gerobak dorong sampai yang mangkal. Kualitasnya pun beragam. Dari yang rasanya biasa-biasa saja sampai yang wah.
Soto santan yang terkenal enak, kebetulan letaknya agak jauh dari rumah. Di dekat sini ada, tapi saya tidak berani merekomendasikan.
Namun soto santan, produk sebuah warung dekat rumah, dapat saya acungi jempol untuk rasa dan kebersihannya.Â