Tegukan demi tegukan mengikuti tarikan pada silinder putih, berenang-renang mengarungi samudera kenangan. Ingatannya timbul tenggelam. Sedikit kebahagiaan muncul di permukaan. Lebih banyak ingatan yang karam.
Sampai saat ini Genta tidak memahami, apa sesungguhnya yang menyebabkan wanita bermata teduh nan syahdu itu pergi meninggalkannya. Tidak ada satu orang pun bercerita mengenai kejadian sebenarnya.
Pria itu menempelkan bibirnya ke bibir gelas. Kepalanya sedikit mendongak. Dilihatnya seprai berantakan. Lebih berantakan dari biasanya. Kuntum-kuntum melati putih dipetiknya tadi pagi, berubah kering kecokelatan terbakar api asmara membara.
Sebagian jelas terlihat. Sisanya masih ditiduri oleh tubuh berselimut. Genta tersenyum, mengingat pergulatan semalam.
Gadis itu dikenalnya di sebuah kafe di kawasan Jakarta Selatan. Dalam keremangan lampu ruangan yang temaram, Genta merasa nyaman bermain kata-kata ditimpali senyum menawan.
Ada kerinduan yang terbayar. Bak tanah kering kerontang sekonyong-konyong disiram hujan. Jiwa gersang, kering rasa kasih mendadak cerah, terang benderang oleh suara renyah.
Gadis itu pun merasa senang dengan Genta. Bukan karena sebagai tamu ia sangat royal, memesan makanan dan minuman mahal serta memberikan tip banyak kepada seluruh pramusaji.
Bukan itu. Tetapi ada sesuatu menyenangkan yang menggetarkan hatinya. Entah apa itu. Cinta? Tidak. Masih terlalu dini untuk berlaku romantis kepada tamu baru dikenalnya.
Kemudian lelaki bermata pedang rela menunggu pintu kafe ditutup, menyisakan lampu-lampu penerangan di halaman luar. Ia menunggu gadis pramusaji bersuara renyah untuk diantarnya pulang.
Mereka melanjutkan senda gurau di kedai bubur ayam Radio Dalam. Malam itu Genta merasa bahagia. Ada getaran-getaran yang tidak bisa ia jelaskan begitu saja.
Tiba-tiba saja Genta merasa demikian bodoh. Apakah itu disebut romansa yang dirindukan? Entah lah.