“Praaaang....!” Satu, dua pecahan botol kosong memecah keheningan.
“Begini,” Mbah Suro menarik napas, “dulu, dulu sekali pernah ada rombongan seni Reog di kawasan ini. Satu sinden)* demikian cantik, kemolekan yang menggoda mata pria.”
Para tokoh berusaha mengamati wajah Mbah Suro dalam kegelapan.
Menurut orang pintar itu, segerombolan pria mabuk menggoda sinden. Memaksakan kehendak bejat mereka.
Anggota lain dari rombongan reog berusaha mempertahankan kehormatan sinden-nya, tapi apalah daya. Semua dibantai membabi-buta. Para warga takut, tidak ada yang berani bergerak keluar rumah membantu mereka.
Runtuhnya kehormatan sang sinden merupakan pengalaman tak terlupakan seumur hidupnya. Hatinya hancur, masa depannya musnah.
Ia bunuh diri, menggantung di cabang salah satu pohon kembar. Setelah itu arwahnya bergentayangan.
“Pesannya, agar tidak ada lagi warga minum minuman keras lagi. Arwah penasaran itu memberi peringatan dengan mengetuk-ngetuk pintu atau jendela.”
Terdiam sejenak, Mbah Suro melanjutkan, “jika tidak diindahkan, peristiwa yang menimpa sinden akan terulang kembali.”
Para tokoh saling berpandangan.
Telunjuk Mbah Suro menunjuk, “dengan korban bertempat tinggal di rumah paling ujung!”