Pagi kelam. Semat pendek menghitung angka satu. Jarum panjang membilang tiga puluh. Bayangan pohon kembar di tengah lapangan Turangi meremang disinari bintang tanpa bulan.
Di bawahnya, sesosok serba hitam khusyuk bersemadi. Matanya terpejam. Konsentrasi. Ia sedang membangun komunikasi dengan makhluk-makhluk takkasat mata.
Mbah Suro mendapat laporan dari warga perumahan karyawan perkebunan kelapa sawit, bahwa pada setiap malam pintu-pintu dan jendela-jendela rumah mereka diketuk-ketuk. Setiap malam. Selama berhari-hari.
Ditengok, tiada satupun anasir yang tampak, selain bayangan pohon kembar bergerak-gerak.
Mereka serentak menyatakan, “ada hantu pengganggu! Kita harus menghubungi Mbah Suro.”
Sebagian warga menemui orang pintar yang pernah mengusir hantu bule, jelmaan pemudi Belanda yang bunuh diri di telaga. Setelah melakukan ritual, Mbah Suro mengusir hantu itu. Serupa sinar kebiruan melesat dari mess perkebunan, lalu terbang ke langit.
“Ia bermukim di pohon kembar,” ujar pria paruh baya tersebut sambil memejamkan mata.
“Ya, ya benar. Ia juga mengetuk-ngetuk pintu dan jendela rumah,” sahut perwakilan warga.
Tidak ada syarat khusus, tetapi pria lajang itu minta agar ritual pengusiran dilakukan setelah tengah malam di bawah pohon kembar.
Mata Mbah Suro terpejam. Berkonsentrasi penuh agar mampu berkomunikasi dengan penunggu pohon kembar. Mulutnya komat-kamit. Para tokoh warga menunggu dengan mimik tegang.