Pada kenyataannya, sebagian orang sulit mengakui kesalahan dan merasa lebih menikmati ketika mengingkari atau mengalamatkan kesalahan kepada orang lain. Sementara pihak berbeda, merasa nyaman dengan memilih jalan sunyi, menyuruk-nyuruk berlindung di balik kegelapan agar tidak diketahui umum. Asalkan jangan nyusruk masuk got.
Pada dasarnya, ia menghindari akibat yang dipersepsikan oleh diri sendiri, semisal:
- Turun Derajat, harga diri bisa tercoreng.
- Malu, karena takut menghadapi risiko.
- Merasa paling benar. Kalau kata Engkong Felix, merasa sebagai Malaikat.
(Selengkapnya diuraikan di sini).
Sebaiknya Berbuat Apa?
Google Local Guides melayangkan surat, mencerminkan adab mengakui kesalahan dan memohon maaf atas kesalahpahaman yang mungkin terjadi pada surat edaran sebelumnya. Padahal saya tidak merasa tidak nyaman terhadap ihwal itu.
Pengakuan salah dari sebuah lembaga terkemuka kelas dunia kepada saya yang orang biasa, ibarat pengakuan dari Burj Khalifa di Dubai kepada pecahan genting di Kampung Cikeumeuh.
Artinya, mengakui kesalahan telah menjadi adab dalam berinteraksi dengan pengguna dan pelanggan, bahkan dengan komponen terkecil sekalipun. Barangkali hal itu sudah menjadi kultur yang melekat pada world class company tersebut.
Mereka meyakini, mengakui kesalahan dan meminta maaf dengan rendah hati tidak bakal merendahkan martabat sebagai perusahaan besar. Malahan, akan meningkatkan citra atas mutu tim tersebut.
Jadi alangkah eloknya, manakala adab mengakui kesalahan pada world class company itu bisa kita tiru di dalam semua sendi kehidupan. Tidak ada ruginya sama sekali.
Bisa jadi itu yang hendak disampaikan oleh Felix Tani dan Pebrianov, secara tersirat maupun tersurat, di dalam artikel: Mengapa Artikel Laporan Plagiat Didegradasi Admin Kompasiana? dan Mengapa Admin Kompasiana "Lari Ketakutan" Terhadap Protes Felix Tani?
Begitu saja.