Ketika cahaya matahari belum benar-benar terang, sebuah surel nyemplung ke dalam kotak masuk, berbarengan dengan berbagai email lain. Biasa.
Menjadi tidak biasa ketika membaca subjek-nya: Koreksi: Bonus disebutkan di dalam newsletter bulan ini. Menarik!
Ternyata surel dari Tim Local Guides tersebut menyiratkan moral "mengakui kesalahan" atas newsletter sebelumnya dan memohon maaf. Padahal saya sama sekali tidak merasa terganggu dengan hal itu, bahkan tidak tahu mengenai kesalahan dimaksud. Email sebelumnya telah saya bersihkan/hapus.
Kami mengetahui bahwa newsletter email bulan ini menyertakan catatan pada bagian atas yang mereferensikan bonus di dalam isi email tersebut. Ini merupakan kesalahan dan kami mohon maaf atas kesalahpahaman yang mungkin terjadi.
Kami sedang dalam proses menerapkan pemeriksaan tambahan guna memastikan agar tidak terjadi hal yang serupa. Terima kasih atas pengertian Anda.
- Tim Local Guides
- (Disalin utuh dari email tersebut. Tolong jangan dianggap plagiarisme, lalu cabut label atau --lebih parah-- dihapus).
Adab Mengakui Kesalahan
Dengan asumsi bahwa Google Local Guides merupakan bentukan orang bule, maka ia membawa kultur yang mengenal tabiat "mengakui kesalahan" dan minta maaf atas peluang terjadinya ketidaknyamanan.
Akhlak seperti ini pernah ditularkan seorang instruktur berkebangsaan Amerika Serikat, pada acara Life Experiental Training beberapa tahun lalu.
Berapa pun skalanya, kita harus berani mengakui kesalahan kepada pihak korban atau publik. Pengakuan tulus yang dilanjutkan dengan permintaan maaf. Lalu menyatakan tidak akan mengulanginya. Bagian penting lainnya adalah make a bigger promise atau berkomitmen (berjanji kepada diri sendiri) untuk berbuat lebih baik.
Selengkapnya di:Â Kesalahan dalam Pekerjaan, Petaka atau Hikmah?
Pekerti, etika, akhlak, adab mengakui kesalahan itulah yang mesti kita budayakan di dalam pekerjaan, hidup berumah tangga, dan pada kehidupan sehari-hari.
Penyebab Enggan Mengakui Kesalahan