Beberapa waktu lalu ketika menuju Toko Tani, terlihat di halaman parkir sebuah gerobak penjual soto. Aroma cukup menggoda menguar dari kuah yang sepertinya bersantan.Â
Ah, tetapi belakangan saya berusaha mengurangi makanan berbumbu perasan kelapa parut. Lagi pula dulu saya sudah terlalu sering mengonsumsi soto santan. Jadilah saya urungkan niat untuk mampir.
Namun kedatangan berikutnya membuat saya penasaran dengan aroma kuah yang merangsang rasa lapar. Usai mengunjungi pusat perbelanjaan yang menyediakan daging, ayam, ikan, sayur-mayur, makanan kering, dan bumbu-bumbu itu saya pun mampir ke gerobak soto.
Saya memesan seporsi soto rempah dengan setengah piring nasi putih. Tersedia dua pilihan isian, daging sapi atau ayam. Bisa juga dicampur, bagi yang suka. Kali ini saya memilih daging ayam. Berikutnya ingin menjajal isian daging sapi.
Oh ya, waktu tutup panci dibuka, tersebar wangi rempah-rempah yang sangat kuat. Berbeda aroma dengan soto-soto yang pernah saya coba sebelumnya.
Kuahnya kekuningan tidak sebening soto Madura, tapi agak keruh mirip kuah soto Lamongan atau Ambengan, Surabaya (rujukan berdasarkan soto di gerai Jalan Wolter Monginsidi dan Setiabudi, Jakarta).
Berbeda tampilan dengan soto santan Bogor, juga soto Betawi yang menggunakan susu. Jangan dibandingkan dengan Coto Makassar bercita-rasa khas. Jangan pula disetarakan dengan soto Bandung, Banjar, Semarang, dan soto bening Bogor.
Rasa kuahnya sangat berlainan dengan soto-soto dimaksud di atas. Kuahnya tidak berminyak. Kemungkinan besar bumbunya disangrai atau, bisa juga ditumis dengan sedikit sekali minyak. Ringan, gurih, dan menyegarkan.