Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesepian di Antara Keramaian

17 Juni 2021   11:17 Diperbarui: 17 Juni 2021   12:11 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandangan Rudolfo menyorot kepada seorang gadis di sebelahnya. Menyendiri di kerumunan. Kesepian di antara keramaian. Sebelumnya, Rudolfo demikian terkesima mengamati orang-orang gesit yang menyelinap di tengah padatnya penumpang.

Gerbong-gerbong serupa toko serba ada sedang melaju di atas batang-batang besi, dari Jakarta ke Bogor dan sebaliknya yang singgah di tiap-tiap stasiun. Sebelum bertransformasi menjadi Commuter Line, Kereta Rel Listrik (KRL) merupakan moda angkutan termurah se-Indonesia.

Rakyat berjejal menumpang KRL sampai di atas atap dengan pintu-pintu dan jendela-jendela menganga. Maka terpampang pemandangan ribuan orang memadati ruang dan atap gerbong-gerbong kereta yang berjalan terseok-seok.

Pedagang menawarkan sekumpulan tahu goreng berwarna kecokelatan dengan serakan cabai rawit. Asongan meneriakkan barang-barang sederhana kebutuhan rumah tangga, seperti peniti, korek kuping, kapur anti serangga, hingga lem tikus. Ada pula yang membawa tisu wajah, kue gemblong, slondok, permen, serta minuman dingin.

Juga terdapat mereka yang menjual rasa belas kasihan: bersendiri atau berdua, juga yang menyeret tubuhnya pada lantai gerbong memperlihatkan kaki diperban dengan rembesan merah. Ditambah pula dengan suara riuh para pengamen.

Di luar para pengusaha gesit itu, copet-copet berkelebat dalam senyap, tahu-tahu dompet penumpang KRL lenyap.

Pada suatu ketika ketukan roda di atas rel berhenti di sebuah stasiun kecil. Lama. Lebih lama daripada biasanya. Paduan suara para penumpang, pedagang asongan, peminta-minta, pengamen, dan copet membunyikan nada serupa.

"Huuuuuh.... mogok lagi!"

Penumpang-penumpang KRL kesal, mangkel, dan sebel. Suara-suara riuh pedagang asongan, peminta-minta, dan pengamen menjadi-jadi. Copet-copet makin leluasa dalam keriuhan.

Pintu-pintu dan jendela-jendela yang sudah terbuka lebar-lebar tidak berhasil menyingkirkan udara pengap. Ribuan orang keluar gerbong menunggu berita perihal mogoknya KRL yang tidak kunjung diumumkan. Menyisakan mereka yang belum terlalu mahir menyiasati padat dan pengapnya gerbong KRL, termasuk gadis itu dan Rudolfo.

Dengan mencuri-curi pandang, Rudolfo menilai, bahwa gadis itu menawan, tampak lembut, dan sebagaimana yang diidamkan selama ini, tapi wajahnya pucat. Membuat tampak kian putih, memperlihatkan urat-urat berwarna hijau muda menjalar di lehernya yang jenjang.

Rudolfo adalah pria lajang yang menarik, namun dalam usia menjelang kepala tiga ia belum berhasil menjadi kepala keluarga. Bukan karena terlalu pemilih. Ia mau menerima calon pasangan apa adanya. Pria yang sudah berpenghasilan itu berprinsip:

Hanya ada dua jenis makanan, yaitu yang enak dan yang enak sekali. Hanya ada dua tipe wanita, yaitu yang cantik dan yang sedap dipandang.

Ia selalu merasa kesepian di antara keramaian suara para wanita, baik di reuni, kumpulan teman sepermainan, maupun di kantor.

Kesempatan belum memberikannya ruang untuk memperoleh pasangan. Bisa juga karena sikap canggungnya ketika bercakap-cakap dengan seorang gadis.

Rudolfo berhasrat berkenalan dengan gadis pucat. Sejenak timbul keraguan, bagaimana caranya?

Gadis pucat itu berkata lirih, "pengen pipis, tapi di KRL enggak ada toilet ya?."

Lampu di kepala menyala. Bak pahlawan, Rudolfo berujar, "mari Mbak, aku antar cari kamar mandi."

Dua sejoli keluar gerbong, menyusuri jalan setapak sejajar rel. Rudolfo ingat, fasilitas di stasiun kecil ini sangat terbatas dan tidak meyakini toilet tersedia layak pakai. Di ujung peron terlihat pemukiman penduduk. Pada sebuah rumah, Rudolfo mengetuk pintu, lalu minta izin menumpang ke kamar mandi kepada pemilik rumah.

"Istrinya ya?" Gadis pucat tersipu. Rudolfo salah tingkah.

Kembali ke gerbong, gadis yang sudah tidak pucat wajahnya memerah, seolah darah mengalir kembali ke seluruh tubuh indahnya. Ia tersenyum. Tersenyum amat manis kepada Rudolfo.

"Terima kasih. Mas baik hati, tadinya aku sempat khawatir."

Rudolfo membalas dengan senyum, "pulang ke mana Mbak?"

"Stasiun akhir, Bogor."

"Sama dong," tukas Rudolfo sambil mengangsurkan satu botol air mineral. Satu lagi ditenggaknya demi membasahi tenggorokan kering.

KRL beranjak malas, setelah satu jam lebih terlantar di stasiun kecil. Irama ketukan roda-roda besi di atas rel besi kembali mengalun. Semakin lama semakin cepat.

Dua sejoli berbincang akrab. Ternyata gadis yang sudah tidak pucat lagi merupakan pribadi yang menyenangkan. Rudolfo yang biasanya terbata-bata di hadapan seorang gadis, mampu berbicara lancar. Gadis itu tipikal senang bicara. Barangkali karena timbul rasa percaya terhadap pria penolong. Ia tampak gembira.

Hati Rudolfo serasa bertumbuh taman bunga. Perasaan yang mengkonfirmasi bahwa gadis itu adalah wanita idaman yang selama ini dicarinya. Sepertinya ia juga menaruh hati kepada Rudolfo.

"Naik KRL penuh suka duka."

"Seperti apa?"

"Sukanya ..., banyak jajanan. Barang ditawarkan pun lebih murah dari toko. Tapi gak enaknya, harus siap terhimpit di antara penumpang dengan segala rupa aroma."

Gadis itu dan Rudolfo tertawa. Tergelak akrab yang mengalirkan rasa hangat, sehingga lupa menanyakan nama dan alamat satu sama lain.

Rudolfo menimpali, "paling sedih kalau hilang barang berharga. Kecopetan."

"Eh tapi ada kode: Jangan Maen Bal di Sini! Itu mengisyaratkan kepada copet agar kita tidak menjadi sasaran. Konon."

Baca juga: Awas Copet, Jaga Diri dan Barang Pribadi Anda

Perjalanan terasa singkat. Rudolfo melihat bangunan stasiun peninggalan Belanda kian jelas dengan lapisan dinding mengelupas. Taklama kemudian, ribuan orang bersecepat turun dari KRL. Berlomba-lomba pulang, ingin segera melepaskan penat, meninggalkan gerbong-gerbong kosong.

Gadis yang sebelumnya pucat, sekarang cerah ceria dan larut dengan ribuan penumpang pulang. Hilang dari pandangan.

Rudolfo duduk di bangku tunggu terbuat dari bekas rel, tersenyum mengingat percakapan penuh kegembiraan, kesenangan, dan kebahagiaan. Bahagia? Senyumnya kian berkembang.

Rudolfo menggigit cabai rawit mengimbangi kunyahan tahu goreng yang dibeli dari pedagang asongan di sebelah tempat duduk besi itu.

Mendadak Rudolfo tercekat, melompat, dan berseru dengan keras, "alamak, aku kehilangan!"

Pedagang asongan bertanya, "dompet atau barang berharga? Sering lho kejadian orang kecopetan di atas KRL."

Pria gagah itu menjawab lemah, "Sial! Ya aku memang kehilangan. Kehilangan wanita idaman."

Senyum Rudolfo surut, merasa kesepian di antara keramaian stasiun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun