Rudolfo adalah pria lajang yang menarik, namun dalam usia menjelang kepala tiga ia belum berhasil menjadi kepala keluarga. Bukan karena terlalu pemilih. Ia mau menerima calon pasangan apa adanya. Pria yang sudah berpenghasilan itu berprinsip:
Hanya ada dua jenis makanan, yaitu yang enak dan yang enak sekali. Hanya ada dua tipe wanita, yaitu yang cantik dan yang sedap dipandang.
Ia selalu merasa kesepian di antara keramaian suara para wanita, baik di reuni, kumpulan teman sepermainan, maupun di kantor.
Kesempatan belum memberikannya ruang untuk memperoleh pasangan. Bisa juga karena sikap canggungnya ketika bercakap-cakap dengan seorang gadis.
Rudolfo berhasrat berkenalan dengan gadis pucat. Sejenak timbul keraguan, bagaimana caranya?
Gadis pucat itu berkata lirih, "pengen pipis, tapi di KRL enggak ada toilet ya?."
Lampu di kepala menyala. Bak pahlawan, Rudolfo berujar, "mari Mbak, aku antar cari kamar mandi."
Dua sejoli keluar gerbong, menyusuri jalan setapak sejajar rel. Rudolfo ingat, fasilitas di stasiun kecil ini sangat terbatas dan tidak meyakini toilet tersedia layak pakai. Di ujung peron terlihat pemukiman penduduk. Pada sebuah rumah, Rudolfo mengetuk pintu, lalu minta izin menumpang ke kamar mandi kepada pemilik rumah.
"Istrinya ya?" Gadis pucat tersipu. Rudolfo salah tingkah.
Kembali ke gerbong, gadis yang sudah tidak pucat wajahnya memerah, seolah darah mengalir kembali ke seluruh tubuh indahnya. Ia tersenyum. Tersenyum amat manis kepada Rudolfo.
"Terima kasih. Mas baik hati, tadinya aku sempat khawatir."