Untuk Yang Tercinta (Ytc) Mamah dan Bapak di rumah yang senantiasa ramai dengan celotehan damai.
Pada mulanya aku demikian takjub dengan sebutan "Mamah dan Bapak", sementara orang tuaku dipanggil "Ibu dan Bapak" sebagaimana kebiasaan yang berlaku.
Galibnya disematkan frasa "Mamah dan Papah", atau "Bunda dan Ayah", atau "Umi dan Abah", atau sebutan lazim lainnya. Begitu seharusnya. Istilah "Mamah" dengan "Bapak" rasa-rasanya janggal dalam pembandingan apalagi disandingkan.
Berikutnya, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa sebutan "Mamah" ditempatkan terlebih dulu daripada "Bapak"? Apakah itu menggambarkan dominasi di dalam rumah tangga?
Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata banyak hal yang akhirnya kusadari.
Mengenai perbandingan yang tidak sepadan itu, ternyata ada kabut latar belakang.
Sebutan "Mamah" lumrah di keluarga Mamah yang diturunkan dari buyut berdarah Belanda. Kultur bule sedikit banyak mengalir melalui urat nadi Mamah. Ditambah, almarhum ayah dari Mamah, atau kalau boleh aku menyebutnya kakek mertua, adalah mantan walikota distrik ini.
Bapak lahir dari keluarga kebanyakan, di mana sebutan "bapak" dan "ibu" lumrah dipakai.
Tentang dugaan dominasi Mamah di dalam keluarga? Hm, memang perasaan itu cukup kentara. Maaf ya. Bukan dalam artian buruk, kendati aku sempat berpikir demikian.
Mamah lebih "ramai", banyak bicara dibanding Bapak yang irit kata-kata. Namun sekalinya berujar, Bapak mengeluarkan pernyataan "maut" yang kerap membuatku gentar.
Aku mengenang dua perkara yang hari ini mau dituliskan.