Diari,
Sesungguhnya aku ingin merakit sebuah puisi, namun tiada kemahiranku memungut diksi di rimba kata-kata. Agar sesak ini tidak meledak, bolehkah aku curhat kepadamu?
Oh ya, tentu saja kamu berbeda denganku, seorang manusia yang kelak mati. Sedangkan kamu adalah keabadian dalam diam.
Diari,
Baru terasa sekarang, aku adalah manusia di antara para manusia yang tersingkir lalu terpinggirkan. Tahukah kamu? Dulu aku dianggap berlian berkubang lumpur. Maksudku, aku merupakan solusi yang menguntungkan bagi kawan-kawan. Bermacam keadaan genting dalam proyek dapat terselesaikan dengan kehadiranku.
Panjang ceritanya. Ringkasnya, aku adalah pusat jawab untuk berbagai tanya. Rasa-rasanya aku pernah mengisahkannya. Atau kalau belum semua, kelak pasti akan aku ceritakan.
Diari,
Aku merasa, teman-teman "memanfaatkan" kebiasaan itu. Mereka, para pemilik uang dan fasilitas, memeras tenagaku sampai ke titik paling ujung daya tahan.
Bagi mereka, aku adalah sekadar angka.
Diari,
Kemudian aku ambruk seambruk-ambruknya; ambrol seambrol-ambrolnya; rusak serusak-rusaknya. Aku menderita akibat runtuhnya setengah kekuatan fisik, juga rontoknya separuh kemampuan kognisi.