Suatu malam di tahun 1996. Sebulan setelah putri pertama dilahirkan. Di bangsal dingin, telepon genggam berdering.
"Jam berapa lu ke kantor?"
"Gue lagi di rumah sakit."
"Oke. Setelah beres urusan, langsung ke kantor ya! Ditunggu."
Sejenak hening.Â
Lambung kosong sontak meletup, rintihan kering melewati kerongkongan saya, "gue dirawat, besok subuh dioperasi."
***
Perusahaan induk yang membawahi sekian anak perusahaan demikian sibuk. Banyaknya transaksi, tidak diimbangi dengan kecukupan tenaga manajerial. Delapan orang personil inti bekerja setiap hari, siang malam, nyaris tujuh hari dalam seminggu, kendati disediakan santapan malam mewah oleh perusahaan.
Agar saya mudah dihubungi, tiga nomor telepon genggam harus selalu aktif. Kebiasaan ini berlanjut sampai kini. Eh, smartphone sekarang tidak ada tombol untuk mematikannya ding.
Pulang malam atau berada di kantor pada akhir pekan merupakan hal lumrah. Waktu bersama keluarga jauh berkurang.
Tenggelam dalam pekerjaan membuat kelelahan. Kesibukan saya sempat reda, saat terkena gangguan usus buntu. Pada Sabtu malam itulah Direktur Utama menelepon saya untuk membantunya dalam sebuah urusan.