Dalam keadaan kepepet, manusia mampu memecahkan masalah super sulit sekalipun, menurut pemikiran wajar.
Ujung pergantian almanak menggulirkan kenangan tentang peralihan profesi, dari usaha kuliner menjadi kontraktor. Beberapa belas tahun lalu, saya membuka perusahaan kecil yang bergerak di bidang pengadaan barang untuk instansi pemerintah, sementara menjalankan usaha penjualan makanan dan minuman.
Esensinya sama, yaitu memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain dengan perolehan laba.Â
Perbedaannya, bisnis kuliner berkaitan dengan pengolahan untuk menghasilkan barang bernilai tambah. Sedangkan usaha pengadaan adalah kegiatan menghubungkan pembeli yang merupakan instansi pemerintah dengan penjual demi mengambil komisi.
Titik tolak terjun ke dunia konstruksi, ketika seorang teman yang merupakan pemborong senior meminta saya untuk mengambil dokumen kontrak pada sebuah Dinas milik Pemda. Saya memang mempunyai kepentingan di sana, berkaitan dengan penagihan proyek pengadaan bangku SD.
Selanjutnya, pengambilan dokumen kontrak berkembang menjadi tidak sederhana, ketika berhadapan dengan proses pencairan proyek pada akhir tahun. Pejabat pengadaan meminta berkas pendukung, seperti: perhitungan Daftar Kuantitas dan Harga (DKH atau RAB), analisa harga satuan pekerjaan (AHSP), dan lainnya yang baru saya ketahui.
"Masak kontraktor gak bisa bikin RAB sih?" Pejabat itu meradang di depan orang banyak.
Batas waktu penagihan pekerjaan sudah mepet. Teman pemborong senior pun meminta kerelaan saya untuk menyelesaikannya.
Dengan sisa waktu beberapa jam, saya ngebut ke tempat konsultan. Mereka mengaku bahwa file-nya tidak ditemukan di komputer dan hanya memberikan hard-copy RAB perusahaan lain dengan pekerjaan serupa.
Belakangan saya baru menyadari, konsultan dimaksud akan memberikan berkas RAB lengkap bila membayar senilai 1% dari harga kontrak.Â