Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Generasi Sandwich dan Keluarga Besar Zaman Dahulu

3 Desember 2020   09:40 Diperbarui: 5 Desember 2020   03:17 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar kakek nenek beserta anak-anak dan keponakan-keponakannya (dokumen pribadi)

Tidak diketahui persis kapan mulanya, tiba-tiba saja istilah generasi sandwich menjadi pembicaraan dan kemudian dijadikan topik pilihan oleh Kompasiana.

Masih menurut Kompasiana, generasi sandwich mengacu kepada angkatan yang terhimpit karena harus mengurus anak (keluarga inti) dan orang tuanya. Barangkali seperti keju dan daging tipis bersama sayuran yang dijepit dua potongan roti.

Seseorang yang sudah memiliki tanggung jawab keluarga sendiri, tiba-tiba terjepit dan merasa terbebani untuk merawat orang tua. Kemudian perasaan terbebani tersebut menjadi perkara yang layak dibahas, menyangkut ihwal keuangan hingga persoalan psikis.

Benarkah menjadi roti lapis merupakan beban?

Zaman dahulu sebetulnya sudah dikenal adanya extended family (keluarga besar).

Merriam Webster mendefinisikan keluarga besar sebagai: keluarga yang termasuk dalam satu rumah tangga kerabat dekat (seperti kakek-nenek, bibi, atau paman) selain keluarga inti (Definition of extended family (n): a family that includes in one household near relatives (such as grandparents, aunts, or uncles) in addition to a nuclear family).

Seingat saya keluarga orang tua merupakan keluarga besar, padahal anaknya cuman tiga orang. Untuk ukuran kelas menengah tahun 70-an, keluarga orang tua saya tergolong keluarga besar, ada sepuluh orang dalam satu rumah.

Padahal jumlah keluarga inti hanya lima orang, Ayah, Ibu, beserta 3 orang anak. Selebihnya adalah sepupu-sepupu yang ikut tinggal di rumah dalam rangka bersekolah.

Keluarga besar itu tentunya mesti diberi makan, selain ongkos sekolah. Di luar itu masih ada kakek nenek di lain kota yang harus diperhatikan.

Ayah saya harus survive mengongkosi semuanya dengan mengandalkan gaji pegawai negeri yang saat itu pas-pasan. Korupsi pun bukan jiwa Ayah saya. Ibu sempat menjadi ahli gizi di sebuah rumah sakit, tetapi kemudian berkonsentrasi mengurus tanggungan sehingga beliau berhenti bekerja.

Soal bagaimana bisa keluar dari "beban" yang harus dipikul, merupakan rahasia orang tua saya.

Setahu saya, menampung dan mengongkosi sekian keponakan sambil mengurus anak sendiri tidaklah dianggap sebagai beban, sehingga hal itu tidak pernah membebani.

Tentunya cara hidup bersahaja yang tidak mementingkan gaya adalah salah satu kunci bisa bertahan hidup. Lainnya, menganggap bahwa dalam mengurus keluarga besar adalah suatu kelumrahan.

Generasi sebelumnya, para kakek nenek juga sudah terbiasa hidup dalam keadaan "terjepit" yang juga menanggung ibu/bapaknya (buyut bagi saya) dan keponakan-keponakan dekat maupun jauh. Menurut cerita, tradisi tersebut bersifat turun temurun. 

Mengurus orang tua adalah kewajiban, mengurus anak adalah keharusan, sementara mengurus keluarga dekat maupun jauh merupakan bentuk tolong-menolong.

Walaupun hanya sebentar, saya berkesempatan mengurus orang tua sekaligus mengurus anak. Itu kesempatan yang sangat mahal tiada ternilai harganya.

Kesimpulan

Beban generasi sandwich atau posisi terhimpit/terjepit tidak hanya dialami  generasi milenial, tapi juga angkatan kolonial. Eksistensinya sudah ada sejak zaman dahulu yang disebut keluarga besar. 

Orang terdahulu menganggap keluarga besar merupakan hal yang biasa. Rahasia para pendahulu kita menganggapnya lumrah, menurut pandangan saya, adalah:

  1. Tidak menganggap sebagai beban ketika berada dalam posisi "sandwich" tersebut, dan merasa beruntung memelihara keluarga besar.
  2. Adalah suatu kewajiban untuk mengurus anak, orang tua, dan keluarga.
  3. Menjalankan tata cara hidup bersahaja.
  4. Upaya saling tolong menolong dalam keluarga besar.

Jadi sebaiknya dalam hal mengurus orang tua dan anak jangan dianggap sebagai beban, ia menjadi penugasan dari Sang Khalik untuk dijalankan.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun