Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Program Kerja, antara Konsep yang Cemerlang dan Penerapannya

2 Desember 2020   17:56 Diperbarui: 2 Desember 2020   18:06 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Visi-misi dan program kerja indah biasanya bertebaran menjelang pemilihan calon pejabat publik, demi menaikkan popularitas dan elektabilitasnya. Bagaimana penerapannya setelah terpilih?

Biarlah waktu yang akan berkisah tentang itu. 

Program berkonsep indah pernah saya buat, dan ternyata tidak bisa begitu saja diterapkan.

Kejadiannya berlangsung saat pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang diketahui adalah salah satu tahapan dalam mendapatkan gelar sarjana. Kerennya sih, KKN merupakan bentuk pengabdian kepada masyarakat, dengan penerapan pengetahuan dan keilmuan yang dipelajari selama kuliah.

Tahun 1986 (kuno banget ya?) saya bersama 5 orang mahasiswa/i (4 pria, 2 wanita) semester tujuh atau delapan, saya lupa tepatnya, diterjunkan untuk melakukan KKN di desa Karangtanjung, Kecamatan Cililin, Jawa Barat.

Desa yang bisa dicapai selama 2 jam melalui perjalanan darat dari Kota Bandung itu merupakan salah satu dari 49 desa yang terdampak perendaman waduk Saguling. Waduk yang mulai beroperasi tahun 1986 itu membendung aliran sungai Citarum untuk pembangkit listrik bertenaga air.

Masyarakat sekitar yang terbiasa mengolah tahah darat untuk pertanian tiba-tiba berhadapan dengan perairan yang mendanau berteluk-teluk sesuai kontur. Transformasi kultur dari masyarakat pertanian ke percampuran pertanian - perikanan inilah yang kemudian menjadi pijakan perhatian mahasiswa KKN di atas.

Sebelum berangkat, enam mahasiswa berbasis ilmu Manajemen, Akuntansi, Administrasi Negara, Hubungan Internasional, Komunikasi, dan Peternakan bertemu demi merancang program kerja yang akan dilakukan.

Berdasarkan fenomena perubahan budaya tanah darat ke perairan itu maka disusunlah konsep-konsep khas anak mahasiswa. Saya lupa persisnya apa yang dibuat, wis tah pokoknya indah dipandang di atas kertas.

Singkat kata, 6 mahasiswa KKN tiba di lokasi disambut bak pahlawan oleh lurah (sekarang disebut kepala desa) berserta jajaran dan masyarakat sekitar.

Pada zaman itu mahasiswa masih menjadi tumpuan harapan masyarakat di tengah mampatnya kebebasan bersuara. Mahasiswa KKN yang orang kota dipandang intelek, lebih pintar, lebih lantang, lebih mampu mengatasi segala hal, dan yang pasti lebih gaya.

Seminggu dua minggu pertama, para mahasiswa nan gagah perkasa masih disambut dengan penuh harap oleh warga dan dibicarakan dalam forum-forum khotbah Jum'at.

Namun lama-kelamaan 6 orang mahasiswa KKN merasa lemas, apa yang telah ditetapkan sebagai program kerja hanya bagus di atas kertas. Rencana strategis yang penuh landasan teoritis sangat cemerlang secara konseptual, namun tidak practical, tidak dapat dikonkretkan di lapangan. Program "grandeur" itu ternyata sulit diterapkan pada kenyataannya.

Menyadari itu, kami menyesuaikan diri dengan keadaan setempat dan kemampuan diri. Berdasarkan pengamatan dan apa yang dirasakan terhadap situasi di lapangan, program kerja dimodifikasi --tepatnya dirombak total-- agar lebih aplikatif.

Tidak soal manakala program KKN menjadi recehan, tetapi yang penting bisa langsung mengena kepada sasaran dan dirasakan langsung manfaatnya oleh warga setempat, di antaranya:

  1. Pembangunan sarana air bersih. Sumur warga cenderung kurang baik, karena rembesan dari waduk membuat air keruh. Solusinya, mengalirkan air dari sumber di perbukitan menggunakan pipa bambu yang ditampung dalam bak semen besar.
  2. Membuat perpustakaan desa, karena dana pengadaan buku perpustakaan disunat oleh pihak kabupaten.
  3. Sebagian mahasiswa menjadi tenaga pengajar sementara di satu-satunya Sekolah Tsanawiyah (setara SMP) sebagai pengganti ketiadaan guru, yang siswinya kian berkurang akibat pernikahan dini.

Sebaliknya, kami Mahasiswa KKN lebih banyak menerima pengalaman berharga dari warga, misalnya:

  1. Peningkatan berbahasa lokal secara lebih halus.
  2. Pemahaman kultur dan dinamika pergaulan masyarakat setempat yang penuh tata krama yang santun.
  3. Makanan sehari-hari yang sederhana, seperti ikan, lalapan, sambal yang membuat berat badan saya meningkat selama KKN.
  4. Kegiatan ibadah yang lebih intens dan rutin dilakukan bersama warga.

Paling tidak, pembentukan cara berpikir saat kuliah bisa dimanfaatkan untuk melaksanakan pengabdian kepada masyarakat.

Latarbelakang keilmuan relatif tidak banyak digunakan, walaupun kebisaan bernalar lumayan digunakan dalam menyikapi kehidupan sehari-hari. Lebih terasa sebagai kegiatan liburan di desa sambil menyesuaikan diri dengan budaya setempat.

Dengan bertumpu kepada kisah di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa program strategis berlandaskan pendekatan teoritis, meski bersifat multi disiplin, terkadang hanya berlaku sebagai pajangan konseptual saja dan sulit diaplikasikan di lapangan.

Sementara itu, pengalaman selama di desa (lapangan) menjadi pelajaran yang jauh lebih berharga. Itu barangkali pentingnya KKN bagi mahasiswa.

Apa para calon pejabat publik perlu "KKN" juga ya?

Sumber rujukan: Waduk Saguling

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun