Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Selain Perilaku Santun, Ibu Juga Mengenalkan Nilai-nilai Berikut Ini

22 November 2020   06:27 Diperbarui: 22 November 2020   07:26 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibu dan Bapak semasa masih ada (dokumen pribadi)

Bagi setiap anak, Ibu adalah dunia pertamanya. Anak mengenal rasa, warna, bentuk benda, huruf, angka, musik dan segala hal yang menarik perhatiannya dari Ibu. Dengan demikian, tidak salah apabila Ibu merupakan "sekolah" pertama kali bagi anak.

Menurut cerita, saya dibiasakan mendengar musik gending nan lembut, sesekali musik klasik. Sewaktu bayi diberikan makanan halus buatan ibu, bersumber dari bahan-bahan segar dan menyehatkan. Tidak seperti zaman sekarang, makanan bayi umumnya berasal dari makanan sasetan atau instan, yang diketahui mengandung tambahan bahan pengawet, meski diklaim tergolong food grade.

Barangkali latarbelakang beliau sebagai ahli gizi berpengaruh terhadap perawatan anak-anak.

Seluk-beluk Ibu dalam mendidik secara tepatnya barangkali saya sudah banyak terlupa. Tetapi tidak tentang keluarannya. Ada beberapa hasil didikan Ibu yang saya ingat sampai sekarang.

  1. Mengajarkan berperilaku santun. Ibu tidak memperkenankan berkata kasar kepada siapapun dalam kondisi apapun. Ajaran ini melekat kuat sampai saya dewasa, membentuk cara berperilaku di hadapan berbagai kalangan, termasuk di kalangan "atas". Apakah perilaku ini dalam kenyataannya merugikan atau tidak adalah soal lain.
  2. Mengenalkan keberanian. Ibu mengantar saya ke sekolah hanya pada hari pertama masuk Taman Kanak-kanak. Setelah itu, sepanjang bersekolah saya tidak pernah diantar oleh Ibu atau siapapun. Ibu dan Bapak datang saat penerimaan rapor atau kenaikan kelas saja. Mungkin juga kondisi "mengkhawatirkan" pada zaman dahulu berbeda dengan sekarang.
  3. Mendidik dengan kata-kata lembut. Ibu banyak membantu saya dalam menyelesaikan tugas sekolah, atau jika mengalami kesulitan dalam pelajaran. Cara mendidik yang lembut dan santun tidak disertai kata-kata kasar membuat saya menyenangi pelajaran apapun. Barangkali cara mendidik seperti itu berpengaruh terhadap saya yang kelak mampu memahami segala hal secara generalis, setelah dewasa.
  4. Membiasakan mandiri dan bertanggungjawab. Sejak bisa memegang benda pecah belah, diajarkan untuk bertanggungjawab terhadap alat makannya, yaitu merawat dan mencucinya setelah dipakai. Setiap anak (3 orang) memiliki alat makan sendiri yang unik. Semakin besar ruang lingkup kemandirian dan tanggungjawab itu semakin besar.

Masih banyak lagi yang bisa diceritakan. Namun satu ihwal yang tidak dapat dilupakan sampai sekarang oleh saya, dan juga banyak orang lainnya, adalah mengenai: sifat tulus dalam berbuat baik kepada siapapun tanpa memandang status.

Lha kok menyangkut banyak orang?

Satu ketika, pagar rumah tinggal berhimpitan dengan pagar kampus tempat saya menggali ilmu. Kedekatan lokasi merupakan keuntungan bagi saya, bisa hadir sebelum waktunya hanya dengan berjalan kaki. Untuk urusan perut? Tidak perlu jajan, selain tidak dibiasakan jajan di luar, Ibu juga mengharuskan anak-anaknya makan di rumah. Kecuali berhalangan. Buat saya, tidak ada alasan untuk makan di luar. Masih cukup waktu pulang ke rumah untuk makan siang.

Saat itu, waktu kuliah cukup panjang. Bukan belajar terus menerus, tetapi dalam sehari beberapa mata kuliah bisa berjarak. Misalnya, pelajaran pertama jam 7  sampai jam 9. Berikutnya jam 1 sampai jam 3. Dan seterusnya. Ada jeda yang cukup lama dan membutuhkan makan siang.

Bagi mereka yang rumahnya jauh, apalagi anak kos, jajan atau makan siang di kampus menjadi pilihan. Saya beruntung, cukup melangkah pulang sudah bisa makan siang.

Dalam perkembangannya, teman-teman akrab bertambah banyak. Di antaranya merupakan teman-teman yang kadangkala "menumpang" istirahat siang sambil menunggu jeda. Ada yang rumahnya jauh dan ada pula anak perantauan.

Sejumlah teman, 3 sampai 5 orang menunggu di rumah saya menunggu jadwal kuliah berikutnya. Sambil menunggu tentunya mereka membutuhkan makan siang, sebagaimana halnya keluarga kami (kecuali Ayah yang berada di kantor).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun