Rumah makan bermodal bagus, terletak di lokasi strategis, rapi, bersih, namun sepi pengunjung. Mengapa bisa begitu? Bagaimana membenahinya?
Suatu waktu, pilihan jatuh kepada sebuah restoran, di ruko pinggir jalan ramai, berukuran sekitar 20 6 meter persegi, untuk mengistirahatkan badan. Di atas lantainya yang putih bersih terletak 6 rangkai meja kursi, terbuat dari jati Belanda yang menunjukkan lingkar kayu.
Di pintu masuk, tamu disambut dengan pikulan khas soto jawatimuran. Inilah yang membuat Saya tertarik untuk mampir, selain suasananya yang masih lengang.
Tidak seperti kebiasaan umum di Jawa Barat, di mana makanan berkuah dipisahkan dengan nasinya, Saya memesan soto ayam Malang disatukan dengan nasi. Sayangnya Saya baru teringat untuk mengabadikannya ketika mangkuk sudah tandas.
Meski menurut ukuran Saya, porsi soto campur nasi yang disugukan terlalu banyak, tetapi tetap saja habis. Enak sih!
Meskipun tidak menggunakan MSG alias micin, seperti diiklankan pada stand X banner di pintu masuk. Soto ayam kampung, berkuah kekuningan dibubuhi bubuk koya, terasa enak di lidah. Saya sampaikan penghargaan itu kepada (Sayal lupa menanyakan namanya), sebutlah Mas Marno, server sekaligus cook yang merangkap kasir.
Restoran ayam soto Malang tanpa MSG itu beroperasi sejak setahun lalu. Sebelum pandemi, Mas Marno mengaku bahwa Ia bisa menjual rata-rata sebanyak 20 porsi perhari. Sejak pandemi coronavirus penjualan merosot sampai menjadi 5 porsi perhari. Menurut pengakuan Mas Marno, kendati penjualan tidak sebanding dengan biaya-biaya, tapi pemiliknya tetap mempertahankannya.
Pemilik restoran pada dasarnya suka soto. Ia juga memiliki usaha lain, di antaranya, sebuah lembaga pelatihan pengadaan barang dan jasa. Nothing too loose.
Saya membayangkan, sewa ruko paling sedikit Rp50 juta setiap tahun, ditambah biaya tetap lainnya, seperti gaji pegawai (5 orang), listrik, air. Juga beban modal kerja yang variatif, tergantung penjualan.
Mengabaikan faktor lain, diasumsikan biaya sewa menempati 20% dari struktur laba-rugi. Anggap saja bisnis itu beroperasi penuh, tanpa libur, selama 360 hari dalam setahun. Dengan harga jual soto setiap porsi Rp. 20 ribu, maka akan diperoleh penjualan sebesar Rp 250 juta setahun. Target penjualan itu demi membayar biaya sewa, pegawai, dan biaya tetap lainnya, ditambah biaya variabel serta keuntungan.Â