'Aku' dan 'Saya' merujuk pada ihwal yang serupa. Sama-sama sebagai kata ganti orang pertama tunggal. Namun kedua kata itu memiliki nuansa penafsiran berbeda, manakala diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kata 'Aku' digunakan bagi mereka yang memiliki hubungan dekat dan saling mengasihi. Umpamanya pada relasi suami-istri, akan menjadi lumrah ketika sang pria menyebut dirinya sebagai 'Aku'.
"Aku berangkat ke kantor, ya sayang," ujar pria berpakaian parlente kepada istrinya, yang mengenakan daster agak bolong di bagian kaki pada pagi hari.
Saat pulang sore hari, pria berbau parfum menyapa istrinya, yang berdaster putih tua beraroma kompor, "Aku pulang, masak apa?"
Demikian kerutinan itu berlangsung, senada, sebahasa, dan tak luang menanggalkan lembaran-lembaran almanak usang.
Daster pagi bolong semakin melompong dan monoton. Daster sore memucat kian putih tua.
Kecuali dalam kesempatan tertentu, sang nyonya sumringah bisa berdandan bak selebritas. Meskipun demikian, Ia tak sempat menyingkirkan lipatan-lipatan lemak pada bagian tubuh yang berimbuh penuh sesak.
Namun itulah kebahagiaan dua insan yang kian lama kian jarang dijumpai.
Maka dua insan, yang sedang menyatakan bahwa dunia ini hanya milik berdua, memakai kata 'Aku' lebih kerap. Setiap saat perjumpaan berdua adalah tentang gemintang kerinduan.
"Sayang, Aku mencintai caramu tersenyum kepadaku, melirikku, memelukku, mengecupku, dan......"