Semburan lumpur seluas 3,29 kektar terjadi di kawasan Kesongo, Blora, Jawa Tengah pada hari Kamis (27/8/2020) lalu. Kendati lokasi bekas semburan lumpur panas itu sempat menjadi ajang "wisata dadakan", namun peristiwa alam itu menghadirkan kekhawatiran bagi penduduk sekitar.
Muncul kekhawatiran, dampak semburan lumpur panas akan seperti pada kasus Lumpur Lapindo, 29 Mei 2006, Â di Sidoarjo, yang menenggelamkan 1.300 hektar kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian.
Benarkah demikian?
Fenomena terjadinya mud volcano --gunung api lumpur-- di Blora dan Sidoarjo asal usulnya adalah sama, yakni endapan lumpur yang didesak keluar oleh gas sulfur melalui retakan-retakan dalam lapisan perut bumi.
Bedanya pada pemicunya. Semburan lumpur Blora merupakan siklus alami yang terjadi di wilayah cekungan minyak sekitar Grobogan, Cepu, dan Blora. Semburan Blora adalah fenomena alam yang biasa terjadi di wilayah tersebut, menyebabkan tidak adanya pepohonan yang sanggup hidup di sekitarnya.
Hanya rerumputan dan belukar yang bisa bertahan hidup. Oleh karenanya kawasan tersebut dikenal sebagai oro-oro, tempat menggembala bagi warga setempat.
Sedangkan kasus Lapindo di Sidoarjo dipicu oleh kesalahan manusia yang kemudian menenggelamkan tiga kecamatan dan berpengaruh terhadap aktivitas perekonomian Sidoarjo.
Dikutip dari kantor berita AFP, Profesor Richard Davies dari Universitas Durham, Inggris, mencurigai bahwa bencana itu disebabkan oleh kesalahan manusia, yaitu para pengebor yang telah melakukan serangkaian kesalahan. Bor ditarik ketika kondisi sumur tidak stabil, sehingga dari retakan yang ditimbulkannya membuat celah aliran seperti lahar yang sulit dihentikan.
Semburan Blora adalah siklus alami terjadinya erupsi gas yang mengeluarkan lumpur panas. Apalagi wilayah Indonesia berada di zona tektonik jalur ring of fire yang rawan letusan gunung berapi.
Area terdampak berada di kawasan yang tidak berpenduduk dan saat ini dalam radius tidak terlalu luas. Tidak seperti lumpur Lapindo yang dahsyat.
Keadaan itu seolah tidak menimbulkan ancaman bencana kepada masyarakat, baik secara ekonomi maupun infrastrukturnya. Semburan lumpur Blora secara langsung hanya akan berdampak kepada para penggembala, peladang, dan penambang garam.
Namun demikian tetap diperlukan mitigasi bencana semburan lumpur agar tidak berdampak luas pada masa mendatang, mengingat letupan-letupan akan terus terjadi sebagai siklus alami di masa mendatang.
Maka serangkaian langkah untuk mengurangi resiko bencana yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah daerah, antara lain:
- Pemetaan daerah rawan letupan lumpur panas beserta wilayah yang kemungkinan terpapar. Juga memetakan wilayah berpenduduk yang diperkirakan terdampak.
- Sosialisasi gejala-gejala yang mendahului letupan lumpur kepada masyarakat sekitar dan agar para warga tidak mendekati kawasan bencana.
- Penempatan peralatan pengawasan/pendeteksi  dan kemudian instrumen peringatan dini timbulnya letusan.
Langkah-langkah mitigasi dapat lebih kompleks lagi, tetapi setidaknya upaya di atas dapat memberikan peringatan awal agar tidak berdampak kepada ekonomi dan infrastruktur setempat serta menimbulkan korban jiwa.
Jadi, meskipun dalam beberapa hal, semburan lumpur Blora berbeda dan saat ini tidak sebesar skala kerusakan yang ditimbulkan lumpur Lapindo, namun kemunculan letupan gas berlumpur itu tetap harus diwaspadai. Mitigasi untuk mengurangi resiko bencana semburan lumpur itu sangat diperlukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H