Sebagaimana disampaikan oleh Menko Polhukam, Mahfud MD, "Pemerintah tidak boleh tidak memberikan tanpa alasan hukum. Jika bintang jasa tidak diberikan terhadap orang kritis berarti pemerintah mempolitisasi hak orang secara unfair."
Tentunya pemberian tersebut telah melewati proses verifikasi, peninjauan langsung, serta klarifikasi dari Badan Intelijen Negara, Kejaksaan Agung RI, Kepolisian Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dengan kata lain, dipandang dari kacamata hukum dan prosedur rumit yang mendasari pemberian penghargaan tersebut telah cukup sahih. Menurut Undang-undang proses itu tidak melanggar hukum negara.
Muncul hal berbeda ketika dirunut dari sisi birokrasi. Diringkas dari proposisi Riswandha Imawan tentang birokrasi, sebagai berikut:
- Birokrasi berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan politik dalam masyarakat. Semakin makmur dan demokratis satu negara, kian banyak tuntutan.
- Birokrasi tidak dapat sepenuhnya netral dalam politik. Akibat kompleksitas fungsional masyarakat modern, maka muncul beragam kepentingan dalam birokrasi.
- Birokrasi bekerja dalam dua batasan kultur, yakni budaya administrasi dan budaya politik. Budaya politik akan paling memengaruhi penampilan birokrasi. Ini berakar dari teori birokrasi yang berada dalam teori sistem politik. Wujud sistem politik itu sendiri ditentukan oleh konfigurasi politik yang berlaku saat ini.
Belakangan, birokrasi telah berjaya mengikuti norma kemajuan zaman. Ditandai dengan upaya-upaya serius pemerintah untuk memendekkan rantai birokrasi, menyederhanakan prosedurnya, dan mempercepat prosesnya.
Mengakuri proposisi Riswandha di atas, bagaimanapun birokrasi pemerintah tidak terbebas sepenuhnya dari kepentingan politik. Termasuk dalam pemberian penghargaan kepada Fahri dan Fadli, muatan politis mengemuka, menimbang munculnya keraguan dari berbagai pihak atas parameter pemenuhan syarat pemberian penghargaan.
Akhirul Kata
Pemberian penghargaan Bintang Mahaputra terlanjur menimbulkan kegemparan di kalangan warganet dan berbagai pihak.
Secara hukum, pemberian tersebut tidak dapat dianggap melanggar sistematika hukun. Dipandang dari segi birokrasi, yang rentan terkontaminasi oleh kepentingan politik, penganugerahan itu menimbulkan tanda tanya tentang pemaknaan syarat pemberian penghargaan.
Berkenaan dengan itu, alangkah baiknya pemerintah --birokrat-- mengomunikasikan seluk beluk penentuan parameter dalam rangka memenuhi syarat pemberian penghargaan menurut Undang-undang.
Demikian, hal itu sehubungan dengan kian berkembangnya tuntutan terhadap azas keterbukaan informasi dan agar meredakan syak wasangka di kalangan publik.