Setelah  disepakati pemerintah, parlemen, dan KPU, Pilkada 2020 diselenggaran tanggal 9 Desember 2020 mendatang. Ajang ini merupakan pemilihan kepala daerah yang dilangsungkan secara serentak untuk pertama kalinya dan dilaksanakan di tengah wabah Covid-19.
Sebetulnya pemilu serentak telah dilakukan dalam pemilihan anggota DPR-RI, DPRD tingkat 1 dan tingkat 2, DPD, serta presiden dan wakil presiden pada 2019 baru lalu.
Mendagri, Tito Karnavian, berharap: "Pilkada Serentak 9 Desember 2020 menjadi peluang bagi masyarakat mendapatkan pemimpin terbaik yang unggul, inovatif, amanah, dan efektif untuk menghadapi krisis pandemi Covid-19."
Menjelang perhelatan tersebut, berkembang perdebatan tentang politik kekerabatan dan politik kesempatan, berkaitan dengan majunya keluarga pejabat yang sedang berkuasa dalam pilkada.. Keikutsertaan mereka masih menjadi perbincangan hangat, kendati pencalonan itu tidak melanggar konstitusi.
Ulasan berikut bukan ikut berpolemik mengenai ihwal itu tetapi merunut partisipasi politik pada Pilkada 2020 secara kualitatif dengan menitikberatkan pada dua perkara.
Pertama, apakah masyarakat menggunakan hak pilihnya atau tidak? Pertanyaan ini muncul karena sudah  tiga kali berturut-turut saya tidak menggunakan hak memilih (golput) pada Pilkada terakhir.
Kedua, dalam pemimpin terbaik yang unggul, inovatif, amanah, dan efektif, parameter apa saja yang sebaiknya digunakan untuk menakarnya? Kegelisahan itu mengingat masih ada saja kepala daerah terkena OTT, melakukann dosa lain seperti praktek penyelenggaraan pelayanan umum yang buruk, dan perilaku buruk lainnya (misal, gaya komunikasi publik).
Golput dalam Pilkada
Saya melewatkan tiga Pilkada, yaitu dua kali pemilihan walikota dan sekali pemilihan gubernur.
- Pertama, saya tidak menggunakan hak pilih dalam pemilihan walikota, karena saya kurang terinformasi mengenai sosok, program ditawarkan, dan kinerja calon bersangkutan.
- Kedua kalinya, alasan serupa ditambah kesibukan di lain kota pada saat pemilihan walikota.
- Ketiga, saat pemilihan gubernur, saya sakit berat sehingga tidak terpikirkan sama sekali tentang Pilkada.
Miriam Budiardjo mengelompokkan alasan-alasan untuk golput, berdasarkan social psychological dan rational choice approach yang menempatkan individu sebagai aktor tunggal, sebagai berikut:
- Alasan administratif, terkait kekacauan sistem administrasi pendaftaran pemilih (DPT, kartu pemilih, dan seterusnya).
- Alasan teknis, seperti sedang di luar kota, malas memilih dan seterusnya. Alasan inilah yang saya gunakan dalam pilwalkot
- Alasan politis, memilih tidak memilih karena apatis, tidak ada guna memilih, dan sebagai bentuk protes terhadap calon (like & dislike).
Selain tiga alasan di atas, saya menambahkan:
- Alasan sakit berat sehingga Pilkada dan ihwal lainnya dinomorduakan, sebagaimana yang telah terjadi pada saya.
- Alasan implikasi pandemi yang, kemungkinan besar, membuat sebagian orang enggan berkerumun dan cenderung menyingkirkan hak memilih. Kecuali mereka yang secara psikologis terikat dengan calon, seperti simpatisan partai dan kerabat atau mereka yang mengenal kontestan.