Pro kontra belanja kado lebaran secara online atau offline? Waduh, istilah "kado lebaran" saja baru kali ini mendengarnya seumur-umur. Bagaimana bisa menjawab pertanyaan di atas? Makhluk apalagi kado lebaran itu?
Mungkin sekali ini memang pertanyaan khusus untuk mereka yang kekinian, bukan generasi usang seperti saya yang memahami kado lebaran sebagai parcel pada jaman dahulu.
Tahun 70-an, parcel adalah bingkisan yang diberikan kepada mitra bisbis dan pejabat pemerintah. Ia menjadi salah satu bagian dari momen dalam merayakan kemenangan setelah satu bulan berpuasa.
Bingkisan-bingkisan tersebut bisa dibuat sendiri atau dipesan melalui pihak ketiga yang bergerak di bisnis bingkisan sekaligus mengirimkannya ke alamat tujuan. Isi bingkisan bisa bermacam-macam, mulai dari sirup, kue kering, cangkir, piring, sampai ke peralatan mahal. Malah jaman dulu ada yang berisikan wine dan permen berisi wiski, selain kue.
Namun sejak dianggap gratifikasi, maka lalu lintas pemberian parcel menyurut. Memang pada saat itu tujuan mulia parcel diselewengkan oleh orang-orang dan kemudian dijadikan salah satu "tools" untuk menyogok pejabat atau mitra bisnis yang memiliki posisi penting. Bingkisan yang merupakan salah satu bentuk silaturahmi atau rasa terimakasih kepada relasi berubah makna menjadi alat sogokan.
Bagi orang bukan berposisi penting, bisa memesan parcel ke toko serba ada sekalian diantar ke rumah. Seolah-olah ada yang mengirim.
Bertanya ke Google, kado lebaran adalah hadiah untuk orang tua, anggota keluarga, teman, kekasih  yang dapat menambah arti momen itu dan menciptakan kesan positif bagi penerimanya. Ya iyalah, namanya juga dikasih gratis! Bentuknya bisa berupa pakaian, uang, kue, parcel, alat makan, alat masak, voucher dan lain sebagainya.
Untuk itu rasanya saya bisa berdamai dan memahami kado lebaran sebagai hal yang nyaris sama saja dengan konsep parcel pada jaman dulu.
Perihal pro kontra antara pembelian kado lebaran secara online dengan offline, saya tidak mempunyai pengalaman dan pengamatan terhadap fenomena ini. Ketiadaan data empiris menyebabkan saya tidak berani menjawab pertanyaan di atas.
Bisa-bisa menjadi cerita kosong melompong banyak bohongnya.
Di luar konteks itu, hanya sekali saja saya berbelanja online.