Sering mengantar Budhe ke berbagai keperluan dan anak-anak ke sekolah manakala supir-supir berhalangan.
Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan saling bergantian dengan saudara-saudara lain yang turut menumpang di rumah Pakdhe.
Kendati bukan merupakan obligasi, namun kegiatan-kegiatan itu menjadi liabilitas bagi saya, sungkan jika tidak berbuat apa-apa.
Berbeda dengan tradisi ngenger yang berkonotasi feodalistik, Pakdhe dan Budhe tidak memperlakukan kerabat yang menumpang di rumahnya dengan semena-mena. Sebaliknya, perhatian mereka tidak bisa dilupakan seumur hidup.
Salah satu misal, ketika saya mengalami gejala sakit tipus, dirawat sebagaimana mestinya. Banyak kebaikan-kebaikan lain yang akan panjang bila diceritakan dalam artikel pendek ini.
Menjelang akhir kuliah, saya sering diajak Pakdhe ke proyek-proyek konstruksi yang sedang ditangani dan --secara tidak langsung-- dilatih hitungan teknis sederhana, sangat berbeda bidang dengan ilmu pengetahuan yang saya pelajari. Ibarat bumi dan langit.
Pakdhe melatih saya dengan keras dan mengajarkan keberanian menghadapi situasi apapun di lapangan.
Pengalaman tidak terlupakan, ketika beliau mengajak ke Pertamina Cilacap.Â
Setelah sampai lokasi, Pakdhe mengangsurkan tas kerja, dan meminta saya menemui pimpinan untuk membicarakan tentang kontrak kerja konstruksi, sementara beliau melepaskan baju menyisakan kaos oblong lalu tidur-tiduran di mobil.
Pakdhe melepas saya sendirian menuju "sarang macan" tanpa tahu apa yang harus dinegosiasikan di dalam. Untunglah semuanya berjalan lancar, kontrak kerja konstruksi didapat.
Lebih dari dua dekade kemudian, saya terjun di dunia konstruksi, bidang sangat berbeda --bumi dan langit-- dengan bidang keilmuan yang saya tekuni waktu kuliah. Ternyata, hasil gemblengan almarhum Pakdhe baru terasa belakangan, jauh hari kemudian.