Kota merupa arena kolosal, dimana ikon raksasa berzirah beton memancang tulang belulang, menyiangi sesaknya kelam dengan lalu-lalang perbincangan usang.
Kota juga menyimpan gelombang-gelombang kegelisahan dari bentara, yang meludahkan titah raja pada meja makan, jalang mencengkam kemanusiaan di atas penderitaan.
Pejuang berbandana angan, datang berpedang ke kota, melusuh berkurung petarung, ialah para pengusung keranda perhiasan berlian mutu manikam, berkilaun kefanaan serta ruang-ruang, yang menggagahi petak-petak kumuh berderai air mata pecundang.
Lalu menyingkir, dari keniscayaan hedonik yang tiada usai membukit, terbuai belai lentik semu di tiang listrik, akhirnya menghempaskan jeda berkepanjangan dalam keputus-asaan.
Terbuang dari peradaban, membawa sembarang kekalahan, bersampan menuju bentala tersepi bertepi sunyi.
Sesekali merenung, merundung mimpi, lalu berdesau lembut pada kabut, bersendiri menyesali mimpi nisbi.
Tetapi akan tiba masa, hari tanpa bisa menceritakannya kepada siapa-siapa.
Melainkan kepada-MU.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H