Oleh karenanya, selain kemampuan produksi, ketersediaan pasokan tebu diperkirakan menjadi faktor kelambanan industri tebu yang kian renta. Penyusutan lahan, perlahan-lahan akan menjadikan pasokan tebu kian menyusut, kemudian  membuat pabrik gula tradisional (baca: milik negara) kian lemah bekerja.
Di sisi lain, pemangku kepentingan pada setiap kesempatan mencanangkan swasembada gula. Pada kenyataannya, kecepatan pertumbuhan produksi domestik tidaklah mengikuti laju pertumbuhan konsumsi. Jalan keluar yang paling mudah adalah impor untuk menutupi kekurangan.
Impor gula dari tahun ke tahun dikhawatirkan akan menyebabkan skala keekonomian industri gula menjadi tidak menarik, baik bagi pelaku usaha itu sendiri, petani yang enggan menanam tebu maupun investor yang hendak meraih peruntungan dari sektor tersebut. Runtuhnya pertanian kedelai adalah misal yang telah terjadi .
Persoalan klasik menyembul: lebih sulit mempertahankan pencapaian dibanding membangunnya.
Penolokukuran di atas gamblang menggambarkan inefisiensi industri gula Indonesia dari hulu ke hilir. Kemudian, impor akan lebih menarik dibanding melakukan "overhaul" terhadap industri gula tradisional yang notabene dimiliki oleh negara.
Bagi awam seperti saya, ihwal jargon kosong pejabat tentang percepatan industri gula dalam meraih status swasembada gula masih menyisakan enigma)* di benak: Bagaimana cara mencapainya secara konkrit? Bagaimana mengejar pencapaian industri gula seperti di negara Thailand?
Misterius, sebagaimana pabrik-pabrik gula tua yang lebam terbengkalai dilngkupi kabut lembab.
~~Sekian~~
)* Enigma: teka-teki, misterius
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H