Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lunturnya Empati demi Nalar Kapitalisme dalam Menangkal Corona

6 Maret 2020   18:48 Diperbarui: 6 Maret 2020   18:52 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh leo2014 dari pixabay.com

Tidak lama setelah Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama corona di Indonesia (2/3/2020), segelintir masyarakat mencari barang-barang yang digadang-gadang bisa menangkal virus corona, diantaranya: tanaman rimpang (rizoma) seperti jahe, kunyit, serai, temulawak; hand-sanitizer; dan masker. 

Mendadak permintaan atas barang-barang itu meningkat dan sulit ditemui di pasaran. Harganya pun melonjak bahkan sampai dengan sepuluh kali lipat. Selintas merupakan suatu equilibrium ekonomi biasa, dimana hukum pasar berlaku: demand tinggi, harga penawaran naik.

Peluang "menggiurkan" tersebut ditangkap oleh spekulan dengan menimbun lalu menjualnya pada titik harga fantastis. Bahkan sekelas entitas yang notabene dimiliki pemerintah daerah, PD. Pasar Jaya, turut menjaring keuntungan dengan menjual masker berharga selangit. 

Kebijakan harga tersebut kemudian dianulir dengan pernyataan Direktur Utama PD Pasar Jaya, Arief Nasarudin, yang mengaku salah telah menjual masker seharga Rp. 300.000 perboks. Kini, perusahaan pengelola pasar se Jakarta itu menjualnya dengan harga Rp. 125.000 per boks. (selengkapnya).

Ditengarai, ada juga oknum yang menjual masker bekas seharga Rp. 330.000. Untunglah peristiwa itu tidak berkelanjutan (selengkapnya). Demikian pula, aparat berwenang dengan sigap telah menangkap penimbun di berbagai daerah dan mengategorikannya sebagai kejahatan ekonomi.

Dengan mengenyampingkan norma-norma sosial (non-ethic), maka gejala tersebut akan merujuk pada hukum pasar sebagaimana umumnya. Permintaan masker tinggi, tersebab kepanikan masyarakat untuk menangkal penyebaran virus corona, kemudian mendorong harga ke puncaknya, ditambah kelangkaan barang dimaksud. Kapitalisme yang bebas nilai seperti biasa.

Namun alangkah tidak eloknya, ketika pemilik modal berusaha meraup keuntungan di atas keresahan masyarakat atas potensi merebaknya virus corona, kemudian menjual barang-barang "penangkal" tersebut dengan harga setinggi-tingginya.

Nalar kapitalisme semacam itu tidaklah etis ketika berhadapan dengan kedaruratan yang meresahkan masyarakat. Menghadapi persoalan bersama, segelintir orang telah luntur, bahkan ambrol, rasa empatinya dengan mendahulukan keuntungan semata. Jika didiamkan, tanpa pencegahan dan punishment setimpal, akan menggelinding bak bola salju tak tertahan .

Corona termasuk kedaruratan kesehatan yang sangat meresahkan dan berpengaruh terhadap dinamika politik, ekonomi dan sosial masyarakat dunia. Indonesia pun kini menjadi salah satu negara yang terpapar virus corona, yang juga berdampak pada keresahan masyarakat.

Ia kemudian menjadi persoalan yang mesti dihadapi bersama dalam kerangka kesetiakawanan sosial. Nilai tersebut seyogyanya diejawantahkan dalam cara berpikir, bersikap dan perilaku saling mengerti, akan lebih baik jika bisa saling peduli apalagi dalam menghadapi situasi krisis.

Terlalu jauh bila menggali ke masa silam, dimana semangat kegotongroyongan, kekeluargaan, kebersamaan masih sangat kental. Cukup dengan kerelaan berkorban tanpa pamrih, seperti ditunjukkan oleh sedikit orang dengan cara membagikan masker gratis atau pedagang yang tidak mengambil "kesempatan dalam kesempitan" ketika terjadinya panic buying.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun