"Mbah Kencono telah menunggu. Awas, kamu jangan berpikir macam-macam! Ia bisa membaca pikiran, mengerti getaran hati", Rudolfo memperingatkanku sembari memarkir mobilnya.
Rudolfo berbasa-basi lalu mengisahkan persoalan dalam menapaki karir: tentang persaingan antar pegawai, pergelutan di lingkungan kantor dan keinginannya untuk meraih jabatan lebih tinggi sebagai pencapaian akhir menjelang pensiun.
Selama itu Aku perhatikan Mbah Kencono. Tidak tampak keistimewaan atau ciri yang bisa merepresentasikan kekhasan orang berkemampuan supranatural.
Berkemeja putih, mengenakan pantalon krem tanpa aksesoris berupa: kalung, gelang bahar, cincin besar bahkan ikat kepala. Suaranya tidak menggumam, mengesankan keseraman atau kemisteriusan. Bahkan suara baritonnya membunyikan bahasa lembut nan santun.
Rumahnya sebagaimana dimiliki orang kelas menengah lainnya. Di dalamnya tercermin gaya perabotan minimalis, televisi dan peralatan modern lainnya.
Rudolfo dan Mbah Kencono asyik dalam percakapan, sebaliknya keraguanku kian kuat terhadap kemampuan pria lanjut itu. Akupun menantangnya, dalam benak, untuk menunjukkan kesaktian. Tiada reaksi apapun dari sang ahli pembaca pikiran itu. Melihatku sekali, hanya bertanya nama.
Seusai menandaskan satu mug kopi hitam, Mbah Kencono mengajak Rudolfo ke sebuah kamar yang dihampari karpet. Di atasnya terlihat perbaraan kemenyan, keris dan sekeranjang kembang. Sepertinya tempat ritual.
Aku menghirup kopi di ruang tamu, menunggu prosedur yang tidak masuk dalam alam pikirku. Sama sekali tidak dapat dinalar, bagaimana mungkin seorang Rudolfo menyerahkan nasib pada pasal mistik? Pertanyaan itu aku utarakan kepada Rudolfo dalam perjalanan pulang. Tetapi ia hanya tersenyum dan menegaskan kemampuan Mbah Kencono untuk mengatasi masalahnya.
Akupun tidak mendebatnya lagi. Juga pada hari-hari berikutnya. Sampai ketika aku mengalami musibah itu.
Belakangan Mbah Kencono sering datang ke rumahku. Ia dijemput, siapa lagi kalau bukan oleh Rudolfo.
Orang pintar itu melakukan ritual: membakar dupa, bersila, mengangkat keris di atas kepalanya sambil menunduk khidmat, menarik nafas dalam-dalam kemudian diam dalam hening. Ritual itu dilakukannya lebih dari setengah jam.