Kesempatan tidak datang dua kali, selubang semut pun dikejar sampai ke kutub, kata motivator bermulut tidak pernah mengatup sepanjang ceramah pembuat kantuk.
Aku ingat kata-kata itu, kendati penjelasannya tidak melekat di benak.
Kini peluang emas ada di depan mata, kesempatan sekali seumur hidup, dan --paling penting-- menutup kecemasan.
Bagaimana tidak cemas? Salah satu kongsi usaha Kafe Brambang, terperangkap Operasi Tangkap Tangan, didakwa sebagai penyuap dalam kasus korupsi proyek revitalisasi Taman Utama.
BPN (inisial, masih dalam penyidikan aparat), Rudolfo, dan Aku bersepakat membentuk usaha, dimana Ia merupakan pemegang saham mayoritas, karena uangnya tak terbatas. Rudolfo seorang ahli masak-memasak, dan Aku pengelola keuangan sekaligus operasional
"Anda punya uang, tapi tidak punya waktu. Kami punya waktu, tapi tidak punya uang", begitu pokok pembicaraan kami lima tahun lalu.
Empat tahun pertama, Kafe Brambang disesaki pengunjung.
Kafe Brambang merupa muara pelampiasan jenuh bagi orang-orang yang seharian diperkuda pekerjaannya. Bagi yang lain, tempat itu menjadi gaya hidup kekinian.
Di dalamnya, tersedia makanan barat, Italian, Oriental, dan tentu saja, Indonesia. Mocktails)1Â dan cocktails)2 berbahan impor merupakan daya tarik.
Musik hidup dan musik berlatar EDM)3, menjadi katarsis pelepas tekanan. Berjoget liar, berteriak histeris, menaiki meja, dalam keriuhan malam yang tak pernah abadi.
Usaha serupa merebak, bak jamur pada musim penghujan. Tapi tidak dengan pertumbuhan pengunjung. Para penikmat hiburan malam menyebar ke kafe-kafe baru.
Persaingan mengetat. Harga bahan meningkat. Harga jual makanan dan minuman tidak dapat disesuaikan terlalu cepat.
Aku sudah menciptakan produk unggulan, mengatasi kebocoran biaya. Tetap saja permasalahan itu membuat benak, dalam tempurung kepala botak, meledak.
Kecemasan Rudolfo dan Aku kian meningkat.
BPN meyakinkan, "Tenang saja! Fokus ke produk dan operasional. Aku percaya kepada kemampuan kalian berdua".
Kami berdua saling berpandangan, ragu.
"Defisit keuangan Aku talangi", BPN menegaskan.
Kekurangan arus kas ditutup oleh BPN pada bulan-bulan berikutnya. Uangnya benar-benar tak terbatas. Aku tidak paham bisnis BPN, apalagi Rudolfo yang tahunya cuma masak-memasak. Uangnya mengalir tanpa henti.
Sampai ketika dua bulan lalu, BPN ditangkap aparat karena penyuapan. Sejak itulah masa kemarau keuangan mengambang di atmosfer Kafe Brambang.
Pertemuan singkat di tahanan, BPN dengan lesu, mengisyaratkan penjualan Kafe Brambang, kecuali ada investor baru yang menggantikannya. Kemarin malam, seorang tamu, Uki, mengenalkan seorang investor.
Inilah yang kemudian membuatku berpikir keras.
Menurut penuturannya, orang berkulit legam itu, Michael, adalah orang kaya Amerika. Ia berniat menanamkan uangnya, dan Kafe Brambang dianggapnya cocok
"All the money is in here!", Michael meyakinkan Rudolfo dan Aku, sambil menepuk-nepuk koper berwarna perak yang dibawanya.
Uki menambahkan, "Kalau mau melihat uang itu, datanglah ke Hotel Mangga kamar 302".
Keesokan hari, di kamar 302, Â Michael membuka koper perak itu, isinya: tumpukan potongan kertas putih polos seukuran uang, botol kecil, dan pipet.
Uki menyerahkan selembar pecahan 100 US Dollar kepada Michael, yang kemudian menyisipkan uang tersebut diantara lembaran kertas putih. Sebelumnya, uang itu diolesi cairan dari botol dengan pipet. Uang Dollar dan kertas putih itu dijepit di dalam sebuah buku.
Seluruh proses itu gamblang terlihat di depan mata kami bertiga --Uki, Rudolfo, Aku-- tanpa penghalang apapun.
Michael menjelaskan, bahwa kertas-kertas putih itu adalah uang Dollar asli yang disamarkan, biasa digunakan oleh agen intelijen untuk memudahkannya memasuki suatu negara.
"Dollar Hitam" kode rahasianya.
Kertas putih itu bisa berwarna kembali, bernomor-seri, menjadi uang Dollar asli, dengan katalisasi cairan khusus buatan CIA.
Ia menerangkan, perlu sebuah tempat terpencil dan sejumlah uang, minimal USD 5.000 untuk "memancing" agar kertas putih itu cepat menjadi uang Dollar asli.
Lima belas menit, Michael membuka buku. Diambilnya kertas-kertas itu, menyibaknya, lalu mengambil dua lembar  USD 100.
Satu lembar dikembalikan kepada Uki. Satu lembar lagi diberikan kepadaku, yang tercengang.
"It's yours. Take it!" kata Michael.
"Ambil saja. Tukar ke Money Changer)4, bahkan Bank, agar dicek keasliannya", kata Uki.
Terbit sebuah harapan mengatasi kecemasan berusaha yang terancam karam.
"Asli! Memang asli, aku telah mengonversinya..!", kata Rudolfo riang, setelah menukarkan uang pemberian Michael di Money Changer, lantas mendesakku agar mengumpulkan uang diperlukan.
"Kamu khan bisa pinjam dari beberapa temanmu yang pengusaha, sebentar saja akan terkumpul USD 5.000. Dikenakan bunga juga tak mengapa".
Aku berpikir keras menanggapi desakan Rudolfo, sambil membayangkan penderitaan BPN dalam tahanan. Bagaimanapun, Ia teman yang telah banyak jasanya dalam usaha Kafe Brambang.
"Baiklah, Aku akan mengonfirmasi kesanggupan kepada Michael besok pagi". Jawabanku membuka senyum Rudolfo, sembari menepuk-nepuk bahuku.
Pintu kamar 302 Hotel Mangga kuketuk lima kali, sebagai kode kedatanganku. Dua orang itu pasti sudah menunggu.
Michael membuka pintu kamar, gigi putihnya menyeruak, lalu membentangkan tangannya mempersilakan masuk.
Segera setelahnya, secepat kilat, enam orang berambut cepak berbadan tegap merangsek masuk mendahuluiku.
Pasukan polisi tindak pidana ekonomi khusus itu sigap menyergap Michael dan Uki.
~~Selesai~~
Catatan:
)1. Mocktails: minuman campuran non-alkohol.
)2. Cocktail: minuman campuran berakohol.
)3. EDM: Electric Dance Music.
)4. Money Changer: tempat penukaran valuta asing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H