Ketika mengelola usaha Food & Beverages (F&B) atau kuliner, saya menemui beberapa persoalan seperti: persaingan ketat usaha sejenis, menyiasati fluktuasi penjualan yang cenderung menurun dengan kenaikan biaya langsung dan tak langsung, serta fenomena "small money earner".
Memang pengalaman itu terjadi sekitar 20 tahun lalu. Tetapi saya percaya kiat berikut masih layak diterapkan dalam bisnis kuliner kontemporer, yakni: bagaimana menghadapi small money earner, yang sedikit banyak, merugikan perusahaan kuliner.
Lantas, apakah yang disebut small money earner itu?
Bukan money earner, yang merujuk kepada orang yang mendapat sejumlah imbalan --berupa gaji, upah, dan segala bentuk remunerasi lainnya-- dengan menukar waktu, pikiran dan tenaganya.
Small money earner (SME) adalah istilah disematkan pada karyawan yang "mencari uang kecil", berupa komisi, gratifikasi, atau hadiah lain dari pihak ketiga disebabkan kedudukannya dalam suatu perusahaan.
SME di lingkungan usaha kuliner
Saya menemui kerawanan itu pada bagian pembelian (purchasing), gudang (store keeper) dan pengendalian biaya (cost control). Ulasan berikut membatasi pada penanganan di bagian-bagian tersebut. Penanganan pada bagian lain akan dibahas pada kesempatan lain.
Purchasing, yang melakukan pembelian bahan baku, diam-diam memainkan selisih harga pembelian dan kerap memperoleh "upeti" dari pemasok bahan makanan dan minuman.
Fungsi store keeper penting dalam penyimpanan dan pengeluaran barang menurut prinsip first in first out (FIFO) atau, bahan yang tiba pertama digunakan terlebih dahulu. Pengelolaan gudang, biasanya, dilengkapi dengan kartu stok yang juga menggambarkan mutasi barang.
Bagian stock control akan mencatat bahan baku masuk, bahan diutilisasi, jumlah waste (bahan terbuang/tidak bisa digunakan) dan posisi akhir jumlah bahan dalam  Rupiah maupun kuantitas.
Untuk mengkuantifikasi minuman beralkohol dalam botol diperlukan keahlian tersendiri. Catatan dalam kertas dicocokkan dengan jumlah fisik.