Saya bukanlah ahli perencanaan ataupun mitigasi, namun common sense (penilaian yang masuk akal) menyatakan: seyogyanya ada perilaku penyesuaian (adaptive behavior) menghadapi iklim tropis yang sudah given (alias dari sononya memang begitu).
Alangkah baiknya beradaptasi dengan lingkungan beriklim tropis, bermusim penghujan dan kemarau, dengan tindakan-tindakan umum berupa:
Pencegahan. Merupakan tindakan-tindakan preventif dalam rangka menjaga lingkungan sekitar, dari hal sederhana sampai kegiatan rumit. Diantaranya: Efisiensi penggunaan air dan energi; Menanam pohon; Buang sampah pada tempatnya; Mengurangi penggundulan hutan; Mengendalikan polusi, Memerhatikan kerusakan ekosistem; Mengawasi alih fungsi hutan; Mengatur daerah aliran sungai; Inovasi energi alternatif; Menguatkan ketahanan pangan; Dan masih banyak lagi.
Kegiatan ini akan berhubungan dengan cara-cara mengurangi dampak dan risiko. Hasilnya, mungkin, berupa sistem peringatan dini (early warning system) yang memungkinkan orang mengungsi sebelum terjadi banjir, sebagai contoh.
Lantas siapakah yang mesti melakukan tindakan adaptasi tersebut?
Pemerintah, sebagai kelompok administratif yang mengatur negara (berbanding terbalik dengan paham kekuasaan) dan masyarakat, yang hidup di negara ini dengan turut membayar pajak, merupakan stake holder dari sebuah bangunan yang bernama Indonesia.
Dengan demikian, para pemangku kepentingan tersebut tidak cukup hanya diam menyongsong potensi bencana lebih dahsyat, tetapi bergotong-royong melakukan tindakan adaptif. Satu hal yang harus dilakukan bersama-sama.
Perilaku penyesuaian tersebut bisa dengan melontarkan narasi perbaikan ataupun kerja nyata menghadapi bencana, apakah dalam keadaan kebanjiran atau kekeringan.
Atau memang kita sudah terbiasa menunggu peristiwa terjadi, baru setelahnya bereaksi?
Semoga banjir segera surut.