Saat ini menyeberang jalan raya merupakan ihwal rumit, terutama bagi yang kurang gesit seperti manula, orang berkemampuan terbatas, ibu-ibu dan anak-anak. Kendati telah berdiri di atas marka garis-garis melintang jalan, disebut zebra cross, namun mereka mesti ekstra waspada menghadapi serobotan kendaraan bermotor terburu-buru pesat.Â
Makhluk-makhluk beroda itu demikian perkasa meminggirkan kaum pejalan kaki.
Pipa pembuangan pembakaran mesin pun menghamburkan asap dan suara memekak, menerobos ruang-ruang istirahat tanpa memandang siang atau malam. Knalpot standar kendaraan bermotor dibobok atau diganti dengan saluran pembuangan yang melengking meninggalkan penderitaan pada telinga pendengar.Â
Suatu kebanggaan semu pengendara kendaraan bermotor yang menyiksa orang lain.Â
Bisa saja "orang lain" itu terdiri dari bayi-bayi terbangun; orang yang butuh istirahat atau bekerja; orang sekarat dan orang-orang yang berhak memperoleh ketenangan.
Belum lama terhantar kabar, segerombolan pengemudi sepeda motor masuk jalur khusus dan menghalangi laju bus Transjakarta demi menghindari razia polisi lalulintas. Untunglah, pengemudi bus tidak bergeming mundur meski para pengendara sepeda-motor meneriakkan serapah dan klakson.
Tidak heran jika Remy Sylado pernah menyindir perilaku pengemudi kendaraan bermotor dalam salah satu puisi mbeling-nya:
"Di Jalan Raya Kota":
Di Jakarta, seorang profesor dikata-katai goblok
Oleh seorang sopir angkot yang  cuma tamat SD Inpres
Karena tiba-tiba motor profesor itu mogok di tengah jalan
Dan jalanan macet berkilo-kilo
Klakson dipencet bertubi-tubi
Bukannya tidak ada peraturan mengenai zebra cross yang mengharuskan pengendara memberi jalan kepada penyeberang jalan. Pun bukannya tidak ada larangan menggunakan knalpot bising tidak standar. Pasal-pasal itu mudah ditemukan dalam bangunan hukum Republik Indonesia. Tetapi jalanan bukanlah sirkuit balap.
Namun perilaku tidak mengindahkan pengguna jalan lain, menyebarkan polusi suara dan mengeluarkan suara cerewet klakson sudah demikian menggejala, menjadi kebiasaan yang lumrah. Apakah kebiasaan itu bisa menjadi salah satu indikasi runtuhnya budaya sopan-santun di masyarakat Indonesia?