"Ting...ting...ting...ting...ting..!" bunyi nyaring tiang listrik dihantam-hantam dengan tongkat besi, pukul dua saat terjadinya rotasi yang transendental.Â
Lima tiang listrik berteriak keras, satu tiang selalu berbunyi paling kencang. Satu tiang listrik bersuara paling mendengking sangat dekat, karena tertancap di depan rumahnya. Sontak pak RW terbangun, merasakan suara-suara nyaring memukul kepala.
Godam besi raksasa memecut-mecut tiang listrik besi yang sedang menggigil ketakutan, pada jam tiga, ketika embun-embun sedang berasyik-masyuk membasahi  pucuk dedaunan.
Gaung dari depan rumah bergema-gema membuyarkan mimpi, menghentikan aliran darah kental lalu menyembur lagi secata tiba-tiba seperti selang pecah menyebar di otak beku, membuat pak RW sekonyong-konyong tersadar.
Kesadaran jiwa yang membuat kesukaran memeluk mimpi kembali. Badan sudah digulingkan ke kiri diputar ke kanan tidak juga berhasil menghentikan gemuruh bertalu-talu dalam kepala.
Penderitaan berakhir ketika didengarnya derit portal dibuka untuk memberi jalur pengunjung mesjid, setengah jam sebelum pelaksanaan ibadah subuh. Suatu pertanda rutin bahwa tugas ronda telah usai, masing-masing petugas jaga malam pun merunduk pulang.
Kedua mata pak RW kelelahan, berangsur-angsur memudar lalu melenyapkan ingatan. Hening.
Bak terserempak oleh sekawanan harimau lapar, pak RW melompat terjaga dari ranjang. Belum sempat seluruh nyawa berkumpul pada tubuh, ia bersegera menuju arah suara teriakan histeris istrinya:
"Pakne....pakne.....pakne.....cepat lihat di depan rumah...!!!"
Pemandangan yang sekarang terpampang di depan rumah membuat tubuhnya berguncang hebat: pintu gerbang telah merengkah, garasi menganga lebar.
Pak RW pun mengeluarkan lengkingan bagai sapi disembelih, mengundang para tetangga berhamburan datang: