Pusat kota sudah terlihat. Sepi, pusat-pusat perbelanjaan seminggu ini tutup. Indra hanya mengandalkan penglihatan pada cahaya bintang. Lampu-lampu penerangan pecah, sebagian tiangnya sudah rebah.Â
Pot-pot tanaman telah terguling menumpahkan isi mengotori jalanan yang dipenuhi ban-ban bekas terbakar dan ceceran darah ditutupi kardus bekas. Bau amis merebak. Indra terus berjalan mengabaikan pemandangan menggetarkan itu menuju rumah di balik ruko-ruko gosong berasap.
Adu iri-dengki antar kedua kelompok berpengaruh demikian meruncing tak berkesudahan semakin lama kian menimbulkan pergolakan hebat. Pertarungan yang meluluh-lantakkan perekonomian, sosial dan segala sendi kehidupan mereka yang tidak terlibat perseteruan.Â
Pergolakan memanas menjadi bentrokan berskala luas. Embrio perang saudara akan segera lahir di negeri gemah ripah loh jinawi ini, hanya tinggal menunggu waktu saja.
Pada keremangan yang senyap berasap sontak dari arah depan seratusan orang memenuhi ruas jalan membawa berbagai jenis senjata tajam, memekikkan asma Allah, berlarian ke arah Indra yang terhenti.
Menoleh ke belakang, dilihatnya empat orang yang tadi di mulut berlari cepat menyongsong dengan parang terhunus menghadapi serbuan diikuti oleh puluhan orang bermuka garang di belakangnya sembari meneriakkan "Allahu Akbar".
Tiba-tiba ada rasa sesal.
Tidak cukup cepat langkah untuk mencapai gang sempit demi melindungi diri dari gelombang bentrokan massal. Setahun lalu Indra terkena serangan stroke.
~~ Selesai ~~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H