Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(PARADOKS) HANTU TERANG BULAN

23 April 2011   15:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:29 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kendati Haris berbadan gempal, tetapi ia sangat penakut.

Takut berada di tempat gelap;

Takut tidur menghadap ke jendela kaca yang tidak bertirai.

Katanya, takut sosok seram dengan bola mata merah tiba-tiba muncul dari balik jendela!

Mungkin karena Haris terbiasa tinggal di kota besar yang gemerlap dengan lampu dimalam hari. Memang, baru dua bulan keluarga Haris menempati rumah dinas di perkebunan ini.

~~~~~~~~~~

Seperti biasanya, sejenak setelah selesai shalat tarawih, anak-anak berhamburan bermain di lapangan depan mesjid yang letaknya ditengah pemukiman karyawan perkebunan.

Malam ini bulan berbentuk bundar penuh dengan sinarnya yang menerangi seluruh penjuru negeri. Malam ini adalah malam terang bulan.

“Ayah, bolehkah Haris ikut bermain dengan teman-teman?”

“Boleh, asal pulang jangan terlalu larut ya nak! Agar tidak mengantuk pada saat makan sahur nanti”.

Maka Haris bergabung dengan teman-temannya. Ada yang bermain petak-umpet. Ada yang bermain topeng-topengan, yakni dimana masing-masing peserta mengikatkan sarung di kepala, sedemikian rupa sehingga menutupi muka dan sebagian badan dengan menyisakan ruang di bagian mata. Seperti anak-anak lainnya, Harispun larut dalam kegembiraan permainan yang menyenangkan.

~~~~~~~~~~

Tibalah saat pulang ke rumah masing-masing, dimana Haris mesti pulang sendirian melewati sedikit kebun. Rupanya kegembiraan saat itu telah melarutkan ketakutannya.

“Toh cukup sinar bulan”, Haris membatin kendati pikirannya mulai was-was.

Berjalan tanpa menengok kiri-kanan, Haris seperti merasa ada langkah yang mengikutinya. Haris berjalan lebih cepat, langkah itupun mengikuti semakin cepat seiring dengan detakan jantungnya. Dengan tersengal-sengal, Haris mulai berlari dengan kaki gemetar. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori, ketakutan akan munculnya hantu mulai membayang.

Tiba-tiba, jantungnya serasa berhenti berdegup, membuat langkah kaki berat berayun. Boleh jadi saat itu wajah Haris berwarna pias-pucat tertimpa sinar rembulan, sambil berusaha sekuat tenaga membendung agar air mata tidak tumpah.

Terlihat dengan jelas di kejauhan, sebuah sosok yang tidak tampak mukanya berjubah putih longgar melambai-lambai bergelombang. Dan yang membuat mulut Haris terkunci rapat untuk berteriak, adalah bahwa makhluk itu bergerak-gerak melayang tanpa ada sesuatu bentuk kaki yang sekiranya menyentuh permukaan tanah..! Terbang melayang pulalah seluruh isi akal sehat Haris untuk memikirkan:

“....benda hidup apakah itu........???? Hiiiyyyy.....!!!!!”

“Pocoooong.....!!!!!”

Lepas juga teriakan yang lantas melontarkan sepasang kaki Haris untuk secepat angin menghamburkan seluruh jiwa-raga Haris ke dalam rumah. Sang ayah menyambut terheran-heran anaknya yang terengah-engah:

“Ada apa Nak???”

“A...a..ada...hantu....!!!”, jawab Haris sambil memeluk ayahnya.

~~~~~~~~~~

Segera setelah situasi tenang, ayahnya membisikkan sesuatu kepada Haris. Muka Haris sepertinya tak percaya. Kemudian sang Ayah mengajak Haris yang masih gemetar ketakutan keluar rumah menghampiri tempat dimana peristiwa itu terjadi. Ayah Haris merendahkan badan agar bisa memandang tepat di kedua bola mata anaknya, dengan suara pelan namun tegas berkata dengan bersunggung-sungguh:

“Anakku, yang kamu lihat sebagai hantu pocong tadi terlihat pada pohon pisang disana! Benarkah?”

Haris menganggukkan kepalanya, sambil menyimak penjelasan ayahnya:

“Tahukah kamu,.............................. bahwa permukaan daun pisang dilapisi oleh semacam serbuk lilin, dan itulah yang memantulkan cahaya rembulan, ditambah tiupan angin yang menggerakkannya...........................”.

Penulis:

BUDI SUSILO (no. 91)

Catan Tambahan:

UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA PARADOKS YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI AKUN Dongeng Anak Nusantara di Kompasiana sbb: Dongeng Anak Nusantara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun