Kisah Angeline 8 tahun yang tinggal bersama orangtua angkatnya di Denpasar telah menyita perhatian masyarakat luas. Sejak dilaporkan hilang pada 17 Mei 2015, kasus ini mendapat perhatian kalangan luas bahkan nasional. Dua orang menteri, Yuddy Chrisnandi dan Yohana Yembesi sampai sampai turun langsung melakukan investigasi. Tragisnya, pada 10 Juni 2015 Angeline ditemukan tewas terkubur di halaman rumah orang tua angkatnya. Polisi telah bertindak sigap menetapkan tersangka yaitu Agus Tae, mantan pembantu di rumah itu dan belakangan ibu angkat Angeline, Margriet Christina Megawe juga ditetapkan sebagai tersangka.
Simpati untuk Angeline mengalir begitu deras, berjuta doa terbaik dipanjatkan. Kepergian anak gadis cantik ini nyata-nyata telah mengaduk-aduk perasaan kita semua. Sepertinya semua orang menangisi kepergiannya. Namun simpati saja nampaknya belum. Kematian Angeline bukan sekedar takdir hidup, namun merupakan cerminan realitas kehidupan anak-anak Indonesia yang rentan terhadap kekerasan. Yang lebih memprihatinkan ternyata kebanyakan pelaku kekerasan anak adalah orang-orang dekat yang semestinya melindungi. Mereka adalah sosok dengan karakter predator (sang pemangsa) yang memperlakukan anak secara egoistis sekaligus menghancurkan masa depan anak. Seorang predator adalah pribadi yang gagal memiliki empati dan kepekaan untuk menghargai eksistensi anak sebagai pribadi yang pantas dihormati. Yang semakin memprihatinkan, ternyata semakin mudah menjumpai sosok predator anak itu. Karakter predator ternyata bisa hadir dalam diri sosok orangtua, guru, kakak, tetangga dan orang dewasa lain yang mudah mengakses terirori anak, baik melalui cara manipulatif, bujukan bahkan pemaksaan. Ibarat musang berbulu domba, mereka ahli melakukan kamuflase dalam rangka pelampiasan dorongan egonya.
Kasus Angeline merupakan sebuah isyarat gawat darurat, ketika ternyata di dalam keluarga-pun keselamatan anak tetap terancam. Kasus ini juga merupakan peringatan bahwa masih banyak pekerjaan rumah untuk melindungi anak-anak. Kisah tragis Angeline nampaknya merupakan dampak dari suatu ritual kekerasan yang berlangsung dalam keluarga yang tidak berpihak kepada anak. Apalagi ternyata Angeline hanyalah anak adopsi, sehingga dianggap sah-sah saja untuk memperlakukan dengan tidak adil. Namun demikian apapun motifnya di balik kasus ini, seperti kemungkinan eksploitasi anak bahkan soal perebutan warisan, posisi Angeline tetaplah anak yang lemah, yang rentan menjadi korban di balik berbagai kepentingan tersebut. Ibarat fenomena puncak gunung es, tentunya masih banyak anak yang kurang beruntung seperti Angeline.
Mungkin masih banyak orangtua yang kurang menyadari atas tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama pengasuhan dan kewenangan sebagai orangtua. Relasi orangtua anak yang seringkali menempatkan anak dalam posisi subordinasi, sehingga potensi anak menjadi korban kekerasan semakin kuat. Mengacu pada pendapat seorang pakar psikologi Terry E. Lawson, tindakan kekerasan terhadap anak mungkin terjadi dalam beragam bentuk seperti, 1) emotional abuse: pengabaian pemenuhan kebutuhan kasih sayang, perhatian, 2) verbal abuse: kekerasan verbal seperti kata-kata kasar, 3) physical abuse: kekerasan fisik dengan pukulan , penganiayaan, serta 4) Sexual abuse: kekerasan seksual pada anak. Sekiranya Angeline dapat menceritakan kembali kisahnya, dapat dibayangkan betapa ia sudah demikian lama menahan rasa sakit tanpa mampu melawan, sampai akhirnya maut menjemput dengan cara tragis.
Kiranya kisah Angeline dapat menjadi cermin untuk introspeksi. Anak-anak korban kekerasan seringkali menanggapi kekerasan dengan diam atau diistilahkan the silence scream (jeritan dalam diam). Diamnya seorang anak ketika menahan rasa sakit dan penderitaan disebabkan ketidakberdayaan untuk melawan. Disinilah sebenarnya pentingnya kepekaan orang dewasa untuk menyelami dunia anak-anak. Perlu dialektika untuk memahami apa yang dirasakan dan diinginkan anak. Jangan biarkan anak menyimpan trauma dan dendam dan menatap masa depannya dengan suram. Kalangan pakar psikologi meyakini bahwa kekerasan pada anak membawa dampak buruk bagi masa depan. Hampir kebanyakan orang dewasa yang bermasalah mengalami kekerasan dari orangtuanya di masa kecil.
Meningkatnya kekerasan dan penelantaran anak kelihatannya juga terkait dengan perubahan tatanan kehidupan sosial yang semakin individualistis. Relasi antarwarga semakin jauh dari keakraban. Atas nama privasi, relasi antarwarga semakin terbatas bahkan dengan tetangga pun sering tidak saling kenal. Situasi ini merupakan bentuk penegasan akan teritori dan privasi secara egoistis, dimana orang lain tidak boleh ikut campur dalam urusan pribadi. Kemudian orang boleh bertindak apa saja karena teritori menjadi simbol kekuasaan dan kewenangannya. Kekerabatan antarwarga seharusnya dapat menjadi fungsi preventif terhadap kekerasan anak. Namun sayangnya sistem kekerabatan itu semakin luntur terutama di kota-kota besar.
Kekerasan pada anak merupakan deviasi perilaku. Penyebabnya bisa karena faktor individual seperti kepribadian yang kurang matang dan gangguan kejiwaan. Namun juga dapat dikaitkan dengan faktor situasional yang memicu berkembangnya karakter negatif. Sebuah penelitian eksperimen pada tikus pernah dilakukan pakar psikologi lingkungan John B Calhoun. Hasilnya menunjukkan kepadatan populasi berpengaruh pada munculnya fenomena behavioral sink, yaitu memburuknya kualitas perilaku akibat kepadatan populasi. Terjadi perilaku agresif meningkat, kanibalisme, penyimpangan seksual, penelantaran anak-anak tikus. Dalam analogi yang demikian, kita punya alasan kuat bahwa ditengah kondisi populasi penduduk yang semakin padat seperti di kota-kota besar ancaman kekerasan terhadap anak juga meningkat. Hal tersebut karena kepadatan populasi memberi kontribusi bagi munculnya karakter negatif dan kurang ramah anak.
Keluarga dapat menjadi kunci pencegahan kekerasan terhadap anak. Hal tersebut dapat berlangsung ketika dalam keluarga terbangun relasi setara antara orangtua dengan anak, yang memungkinkan terbangun dialektika saling menghargai. Namun hal tersebut seringkali terkendala oleh pandangan yang menyudutkan anak. Ada kalanya anak dipandang sebagai instrumen untuk kepentingan orangtua. Juga adanya pandangan bias gender yang seringkali menempatkan anak perempuan sebagai pihak yang lemah dan rentan menjadi korban. Hambatan seperti itulah yang harus diatasi, sehingga pada akhirnya terjadi perubahan pola pengasuhan ramah anak dalam keluarga.
Dalam konteks negara dan pemerintahan, komitmen pada perlindungan anak sebenarnya sudah cukup baik. Hal tersebut terbukti dengan tersedianya perangkat politik, hukum, kelembagaan yang menunjang serta partisipasi masyarakat yang menguat. Hanya saja memang perlu komitmen tinggi dalam implementasinya karena kita sekarang hidup dalam pusaran perubahan tatanan sosial yang begitu cepat. Cukuplah Angeline yang menjadi martir, semoga kita cepat belajar dari tragedi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H