Di pemberitaan sejumlah media televisi kemarin (29/5) Jokowi terlihat sedang kerepotan dikepung pertanyaan awak media sehubungan dengan hasil survai yang mengunggulkannya sebagai bakal Presiden 2014. Survai CSIS periode 9-16 April 2013 menempatkan Jokowi pada rating pilihan tertinggi mengungguli senior-seniornya seperti Megawati, Aburizal Bakri, Prabowo bahkan JK. Ia diberondong pertanyaan tentang kesiapannya menjadi Capres di 2014. Ia menepis dengan menjawab:" Wong ngurus DKI saja sudah pusing kok mau jadi Presiden". Dengan berkelakar Ia mau jadi Presiden jika dipasangkan dengan Iriana, sang istri. Tentu ini hanya untuk berkelit agar awak media berhenti mendesak.
Tetapi begitulah politik, semua dapat berubah dengan cepat, dalam hitungan politiknya masing-masing. Menuju 2014 hanyalah waktu yang pendek untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya dalam pertarungan merebut RI 1. Yang jelas, semua mesin partai sekarang ini sedang bekerja sangat keras untuk memenangkan jagonya di 2014. Secara terang benderang dan ambisius Golkar mendorong Aburizal Bakri (ARB) untuk bertarung di kancah, walaupun dibayang-bayangi oleh kasus lumpur Lapindo. Prabowo Subianto dengan Gerindranya, walaupun juga dibayangi oleh kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Hal yang sama juga terjadi pada PDIP. Partai yang telah periode kepemimpinan SBY lebih mantap menempatkan diri sebagai kekuatan oposisi semakin percaya diri dan mantap sebagai single fighter alias tidak berkoalisi dengan partai lainnya. Hal tersebut telah dilakukan pada pilkada di Sumatra Utara, Jawa Barat, Bali dan terakhir di Jawa Tengah. Memang hanya di Jawa Tengah yang akhirnya memenangkan pertandingan, yaitu dengan terpilihnya Ganjar - Heru sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur baru.
Namun yang menarik di balik itu adalah selalu hadirnya sosok Jokowi yang selalu ditampilan sebagai jurkam utama. Teringat pada acara X Factor yang beberapa waktu lalu baru saja tuntas disiarkan di RCTI, mungkin istilah Jokowi Factor menjadi ungkapan yang tepat tentang bagaimana banyak pihak ingin mendapatkan keuntungan maupun keberuntungan untuk menjadikan Jokowi sebagai maskot sekaligus daya magnit pemilih. Seperti semacam test case seberapa kuat sih daya magnet Jokowi untuk menarik pemilih di pertempuran nanti. Mengacu pada pada pemilihan Jabar, Sumut dan Bali dimana jagoan PDI kalah, namun mereka semuanya menduduki urutan 2 dengan selisih ketat dengan sang pemenang. Bahkan di Bali selisihnya sangatlah tipis (49,08 % lawan 50,02 %).
Sampai saat ini banyak pihak mengakui kinerja mesin politik PDI P semakin solid karena kemandiriannya tersebut. Namun seberapa besar Jokowi Factor memberi kontribusi, masih banyak yang meragukan juga. Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Yudi Widiana Adia menyindir langkah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi yang ikut dalam kampanye pasangan dari PDI Perjuangan di dua pilgub, yakni di Jawa Barat dan Sumatera Utara kurang meyakinkan. Jokowi dinilai hanya menggunakan sentuhan panggung dalam membantu kampanye sehingga tak mendongrak dukungan untuk kedua pasangan. Sentuhan Jokowi dianggap hanya sentuhan panggung, tapi human touch-nya tidak dirasakan di kedua daerah itu.
Namun di dalam Pilgub Jawa Tengah, peran Jokowi rupanya cukup signifikan. Hal tersebut terkait dengan profil Ganjar- Heru yang sebenarnya belum begitu dikenal yang menurut perhitungan quick count menang telak dari lawan-lawannya. Tentunya ini juga hasil kerja keras mesin politik PDIP. Namun pengakuan beberapa orang pedagang pasar Johar Semarang yang memilih Ganjar - Heru, karena ada Jokowi hadir disitu, baik di kampanye media maupun kampanye langsung, menjadi sinyal bahwa Jokowi juga memberi kontribusi. Hal ini dapat dipahami, bahwa popularitas Jokowi memang begitu kuat di Jawa Tengah.
Tentunya Jokowi Factor masih bisa digoreng-goreng lagi, sampai menemukan formula yang paling kuat untuk memikat pemilih tentunya. Apalagi beberapa waktu lalu Puan Maharani memberikan sinyal tentang kemungkinan Megawati tidak mencalonkan sebagai Presiden di 2014. Tentunya Jokowi menjadi alternatif yang semakin menguat di internal PDIP sendiri. Itulah sebabnya mengapa ada yang mulai menyodorkan komposisi Jokowi dengan calon partai lain, seperti ARB, Prabowo Subiyanto. Tentunya dalam format koalisi pragmatisme politik yang sudah menjadi tradisi politik Indonesia hal seperti ini bisa-bisa saja terjadi. Namun menyikapi hal itu buru-buru PDIP melalui statemen Puan Maharani menyatakan bahwa tertutup bagi yang lain untuk mengakses Jokowi. JOKOWI NOT FOR SALE
Kekuatan Jokowi adalah gaya kepemimpinannya yang beda dan menyentuh rakyat, sehingga memberkuat kharisma kepemimpinannya. Ia seolah memimpin tanpa pamrih. Namun Jokowi juga manusia biasa. Tentu saja ketika dibebani harapan yang terlalu berat nantinya malah menjadi bumerang bagi Jokowi sendiri. Mengapa situasi ini justru tidak membuat partai-partai mendorong tampilnya pemimpin muda alternatif yang sebenarnya juga masih banyak ditemukan. Bukan hanya mengandalkan pemimpin-pemimpin gaek yang tentunya sudah sulit untuk berubah karakter ataupun gaya kepemimpinannya. Jangan memaksakan Jokowi ketika belum saatnya. Cukuplah ia menjadi inspirasi dan diberi kesempatan unjuk diri sampai tuntas membangun DKI. Masih banyak PR di DKI yang perlu konsentrasi untuk mengatasi. Selamat bekerja pak Jokowi, dengan pak Ahok tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H