Diresmikannya pelaksanaan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan atau lebih sering disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Presiden Republik Indonesia terhitung sejak 1 Januari 2014 memberikan angin segar setelah kurang lebih satu dekade program ini digagas dan dituangkan dalam UU SJSN No. 40 tahun 2004. Cita-cita terciptanya sistem pelayanan kesehatan yang memberikan keadilan bagi seluruh warga negara tanpa memandang tingkatan ekonomi dan daya beli terhadap pelayanan kesehatn seakan segera terwujud. Meskipun capaian kepesertaan semesta untuk seluruh warga negara tidak langsung diterjadi pada awal diremikannya program ini namun good will untuk menuju cita-cita tersebut sudahlah nyata.
Asumsi linier bahwa dengan berjalannya waktu target tercapainya cakupan semesta JKN akan tercapai pada tahun 2019. Namun dari salah satu sudut padang kepesertaan JKN yang sukarela untuk non-skema yang sudah ada (baca=Askes, Jamkesmas, Jamsostek, Asabri dll) maka terdapat celah ketidakberhasilan program tersebut sampai tahun 2019. Mengapa? Faktor seleksi yang tidak diinginkan, atau dalam istilah asuransi disebut adverse selection, yaitu “si sakit“ akan cederung mendaftarkan diri ke dalam skema JKN akan sangat besar dibanding “si sehat“ yang akan menghidar membayar premi sampai “si sehat“ akan masuk ke dalam skema JKN jika mereka sudah merasa “membutuhkan“. Payung koersif kepesertaan “wajib“ belumlah terasa, inilah salah satu kendala yang ada saat ini.
Jika dilihat dari proporsi kasar jumlah peserta JKN saat ini, sebagian besar adalah kelompok penuh risiko dikarenakan jumlah terbesar adalah peserta Jamkesmas (86,4 juta penduduk) dibandingkan peserta aktif dan produktif dari Askes dan Jamsostek. Jika kepesertaan sukarela bagi non-skema sebelumnya bersifat sukarela, kemungkinan besar adverse selection kepesertaan seperti hal di atas akan terjadi.Fenomena ini akan memberatkan operasional pendanaan JKN dikarenakan “si sakit“ apalagi dengan penyakit yang bersifat katastropis, penyakit yang membutuhkan biaya besar seperti pasien cuci darah, kanker dan operasi jantung, masuk ke dalam JKN. Isu yang akan terjadi dana operator JKN “nombok“ lagi ke penyedia pelayanan kesehatan, seperti kejadian pelaksanaan Jamkesmas. Apakah ada potensi kebangkrutan operator? Kemungkinan tersebut pasti ada dan mempengaruhi kinerja program JKN secara keseluruhan. Ketakutan akan ketidakberhasilan JKN tentunya ada, mengingat ketidakpuasan terhadap implementasi dilapangan terhadap masyarakat sebagai pengguna akhir maupun penyedia pelayanan kesehatan sebagai partner operator JKN, dapat terjadi dalam kondisi tersebut.
Bagaimana harusnya pemerintah menyikapinya? Perlu beberapa instrumen kebijakan agar operasional kepesertaan JKN berjalan sesuai yang kita harapkan. Sebagai ilustrasi yang sudah dikerjakan di negara lain. Sistem asuransi kesehatan nasional di Taiwan yang sudah mampu mencakup seluruh warga negaranya mewajibkan kepesertaan dalam program tersebut. Namun ada kebijakan subsidi bagi kelompok tertentu dengan prosentase tertentu agar menjadi sebuah paksaan yang tidak “menyakitkan“. Mengapa? Karena manfaat yang diterima dari program asuransi kesehatan nasional tersebut benar-benar mampu menolong warganya dalam hal keulitan secara finansila dalam mengakses pelayanan kesehatan. Insentif yang berupa subsidi premi kesehatan mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi seluruh warga untuk ikut menikmati program pemerintah tersebut. Lain lagi di Filipina, sistem voucher bagi kelompok masyarakat di daerah tertentu jadi pilihan kebijakan insentif sebagai “rayuan“ memaksa warganya masuk dalam program PhilHealth, yaitu asuransi kesehatan nasional yang ada di Filipina.
Payung koersif kepesertaan JKN harus segera dilaksanakan dalam betuk peraturan-peraturan turunannya. Seluruh warga negara harus disadarkan dengan cara yang baik. Hal ini akan memberikan pendidikan yang baik bahwa sebenarnya jaminan kesehatan juga bukan hanya keinginan kebijakan top-down semata namun partisipasi masyarakat dalam kepesertaan menjadi kunci keberhasilan program tersebut. Warga negara juga harus disadarkan bahwa program JKN merupakan manifestasi kebijakan yang berkeadilan sosial dan berfilosofi kegotong-royongan yang merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia yang termanifestasi secara riil. Bentuk subdisi silang dalam program JKN antara premi penduduk yang kaya dan yang miskin, yang sehat dengan yang sakit, yang produktif dengaan yang tidak produktif benar-benar praksis yang nyata dari falsafah hidup bangsa. Kuncinya, kepesertaan wajib tersebut akan menjadi topangan keberhasilan program JKN mencapai kepesertaan seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya untuk capaian 2019, namun sampai waktu tak terhingga demi peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan salah satu indikator kesejahtaraan dan kemakmuran rakyat. Mampukah kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H