Papua diketahui ingin merdeka dan memisahkan diri dari pemerintahan Indonesia sejak tahun 1960. Sejak sekitar itu Organisasi Papua Merdeka (OPM) gencar melakukan berbagai cara untuk mewujudkan mimpi mereka itu.
Berikut adalah beberapa alasan Papua ingin lepas dari NKRI.
Pertama, kesamaan dengan Negara Tetangga.
Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah ras Melayu sehingga masyarakat Papua merasa berbeda dari kebanyakan masyarakat Indonesia. Selain itu, Papua merasa lebih banyak kesamaan dengan negara tetangga seperti Papua Nugini dan Timor Leste. Papua juga mengklaim bahwa banyak budaya yang mereka miliki sama dengan yang ada di Papua Nugini. Atas dasar kesamaan budaya inilah yang membuat masyarakat Papua merasa memiliki hubungan emosional seperti saudara dengan para tetangganya.
Kedua, kekayaan alam.
Kekayaan alam Papua sudah dikenal sangat melimpah sampai seluruh Indonesia dan bahkan dunia. Hal ini menjadi sumber daya yang seharusnya bisa dimanfaatkan demi kepentingan masyarakat lokal bukan negara-negara asing.
Namun, selama ini SDA Papua lebih banyak dikelola oleh orang yang bukan penduduk asli dan bahkan orang asing. Sebab itu, faktor tersebut menjadi salah satu alasan Papua ingin merdeka dan mengelola sumber daya alam sendiri.
Ketiga, pemerataan pembangunan.
Konflik yang tidak ada habisnya dengan pemerintah Indonesia menjadi salah satu penyebab Papua ingin merdeka dari Indonesia. Selain itu, infrastruktur yang dibangun di Kawasan ini juga sangat minim mengingat luasnya daratan Papua.
Distribusi pelayanan sosial dan pelayanan kesehatan yang tidak merata sampai banyaknya eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan segelintir orang saja, membuat mereka ngotot meminta kemerdekaan kepada Indonesia.
Keempat, banyak imigran.
Papua merupakan daerah yang paling luas di Indonesia, tapi penduduk asli Papua tidak banyak dan sumber daya alam mereka tidak terkelola dengan baik. Program pemerataan penduduk membuat pemerintah Indonesia mengirim penduduk daerah padat ke Papua. Namun kedatangan orang luar ini bisa memanfaatkan sumber daya alam mereka. Dari sini, mereka merasa terganggu dengan kehadiran imigran tersebut.
Selain itu, pendukung kemerdekaan Papua berpendapat bahwa pemerintah Indonesia dianggap gagal melindungi hak asasi manusia dan prinsip-prinsip keadilan karena terdapat laporan-laporan yang mencakup kasus-kasus pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan berpendapat bahwa pemerintah harus memberikan perlakuan yang adil dan setara terhadap warga negara termasuk di Papua itu sendiri.
Selain itu, eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan nasional dan internasional telah merugikan masyarakat Papua karena tidak memberikan manfaat ekonomi yang merata. Maka dari itu Papua ingin mengelola dan mengontrol sumber daya alam mereka sendiri tanpa campur tangan pemerintah.
Kapan mereka mulai mimpikan kemerdekaan?
Adanya gerakan pemisahan diri oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah akibat korban "janji (palsu) kemerdekaan" yang ditanamkan oleh kolonial Belanda, terutama paska Konferensi Meja Bundar (KMB).
Janji usang kolonial Belanda ini diteruskan ke sebagian masyarakat Papua dari generasi ke generasi sejak  sekitar setengah abad silam.
Indonesia memang sudah merdeka sejak 1945, namun KMB empat tahun sesudahnya mengecualikan Papua dari wilayah Indonesia. Belanda masih tetap bercokol di Bumi Cenderawasih dan menamai Kawasan itu sebagai Nederland Nieuw Guinea (Nugini Belanda).
Namun semangat kemerdekaan dari bekas jajahan Belanda lainnya terlalu kuat untuk ditangkal dan akhirnya menular ke Papua.
Para pemuda Papua terdidik bergerak mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) dan Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang pro Indonesia. Dua organisasi ini menjadi ancaman nyata bagi kekuasaan Belanda di Papua.
Untuk menandingi pengaruh nasionalisme Indonesia yang diusung PKII dan KIM, pemerintah Belanda tancap gas menumbuhkan nasionalisme Papua. Gerakan Persatuan Nieuw Guniea didirikan dan disemarakkan dengan pembentukan belasan partai politik.
Manifesto Politik dibikin. Isinya antara lain menetapkan 'Papua Barat' sebagai nama negara, Bintang Kejora sebagai bendera nasional Papua, dan 'Hai Tanahku Papua' sebagai lagu kebangsaan.
Pada 1 Desember 1961, Bendera Bintang Kejora dikibarkan sejajar dengan Bendera Belanda di Hollandia (nama lawas Jayapura), lagu kebangsaan Papua dinyanyikan. Maka berhasillah Belanda membentuk nasionalisme Papua.
Belanda menjanjikan kemerdekaan untuk Papua selambat-lambatnya pada 1970. Janji ini terus dipegang OPM. Mereka terus memperingati 1 Desember, padahal si pemberi janji sudah kadung pergi duluan sebelum 1970, usai Perjanjian New York tahun 1962 yang mengamanatkan Papua diserahkan ke Indonesia via UNTEA (Lembaga PBB).
Ada pula Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 berupa referendum yang menghasilkan suara bulat persetujuan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia.
Peristiwa sekitar 1 Desember 1961 inilah yang seringkali menjadi dasar klaim pemimpin Papua sekarang bahwa negara Papua pernah ada tetapi telah dirampas oleh konspirasi internasional Indonesia, Amerika dan Belanda.
Memang, pada tahun 1961, selang tak sampai sebulan usai pengibaran Bintang Kejora di Hollandia (sekarang Jayapura), Presiden Sukarno memekikkan semangat Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Papua dari Belanda. Sukarno menyebut pembentukan negara Papua sama saja dengan pembentukan negara boneka Belanda yang harus digagalkan. Dan upaya Sukarno membebaskan Papua dari belenggu penjajahan justru dipandang sebagai penjajahan itu sendiri oleh kalangan OPM.
Jadi, secara politik benih dari mimpi Papua Merdeka adalah janji palsu pihak Belanda kepada orang Papua.
Tetapi isu tentang Papua merdeka juga perlu dilihat dari sisi agama atau keyakinan.
Menarik disimak hubungan antara kehadiran Ottow dan Geissler, yang memberitakan Injil dan tiba di Papua pada 1855, disusul oleh I.S. Kijne (1923-1941) dan kemudian oleh pengajar Firman dari Yahudi Mesianik.
Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler telah membawa Injil, yang menciptakan peradaban baru bagi bangsa Papua.
Pesan Injil yang dibawa Ottow dan Geissler adalah agar secara spiritual manusia yang mewarisi dosa Adam kembali kepada persekutuan dengan Allah dan hidup di dalam hidup baru secara rohani di dalam Kristus. Dan untuk hidupnya di dunia mereka perlu mempercayakan diri kepada pemeliharaan Allah terhadap mereka.
Tetapi Izaak Samuel Kijne membawa anak Papua berpaling dari mengandalkan Allah kepada mengandalkan kemampuan sendiri. Dari hidup dipimpin Tuhan menjadi hidup dipimpin atau memimpin dirinya sendiri. Dari kehidupan merdeka secara rohani di dalam Kristus kepada mimpi tentang kemerdekaan politik atau jasmani.
Kemudian datanglah para pengajar dari golongan Yahudi Mesianik yang mengalihkan pandangan dari Yesus kepada Israel, dari pemujaan kepada Tuhan Yesus kepada pemujaan terhadap Israel dengan karunia-karunia jasmani mereka yang hebat.
Para pengajar dari Yahudi Mesianik berhasil mendirikan Gerakan Sion Kids Papua yang membangkitkan semangat pembebasan politik anak Papua makin menyala-nyala.
Sion Kids yang didirikan pada tanggal yang sama dengan hari kemerdekaan Israel, 14 Mei, dan sering secara demonstratif mengibarkan bendera Israel menjadi alat bagi kepentingan politik negara Yahudi ini di tanah Papua.
Dan anak-anak Papua yang polos tidak menyadari pembelokan ajaran ini, hingga hari ini. Mereka dengan polosnya bermimpi untuk kemerdekaannya.
Papua kini berada dalam kondisi memprihatinkan. Dimanfaatkan oleh elit politik lokal dan nasional yang berkonspirasi dengan kekuatan politik internasional.
Bahkan beberapa dari mereka yang menyebut diri rohaniwan Kristen pun turut menari-nari di dalamnya. Turut memanfaatkan kepolosan anak Papua yang bermimpi tentang kemerdekaan mereka, demi kepentingan dan keuntungan diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H